Thursday 21 May 2009

Haji dan Sistem Infokom di Negara Muslim: Selamat Jalan Tamu Allah

Oleh : Jufri Bulian Ababil S.Sos.I

Labbaik Allahumma labbaika…la syarika laka Labbaika…Innal Hamda Wannikmata Laka wal Mulk…La syarika Lak. Alangkah harapnya hati mendengar suara panggilan Allah itu. Hadiah sudah siap dipersembahkan. Bertahun-tahun uang dikumpul agar bisa menjadi tamu Allah. Namun apa daya, gara-gara kurang diplomasi dan dan komfirmasi 30.000 calon jama’ah (7927 untuk Sumut) harus bersabar menerima kenyataan pahit, pemerintah kerajaan Saudi membatalkan penambahan kuota.

Kenyataan ini menunjukkan suatu hal yang dilematis, sangat kontras dan kontraproduktif antara apa yang dilakukan “seorang pahlawan pencari harta karun” dengan apa yang menjadi eksistensi Ibadah Haji itu sendiri. Walaupun memang tidak ada unsur kesengajaan, namun dari sudut pandang apapun, kita tetap akan memandang hal itu sebagai sesuatu yang sangat naif, sangat tolol dan memalukan bagi sebuah “instansi” yang mengatasnamakan sebuah negara/ seorang yang mengaku mewakili sebuah bangsa yang cukup besar.

Haji: Apa dan Siapa?
Secara bahasa, apa yang kita kenal dengan istilah “Haji” itu dapat berarti hujjah dan argumen, dapat pula berarti data dan bukti. Maksudnya bagaimana seseorang yang mewakili ide dan keyakinannya mewakili mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga bagi kemenangan kaumnya. Singkatnya, kata-kata ini erat sekali kaitannya dengan dunia informasi dan komunikasi dan tentu saja sangat erat terkait dengan sistem intelijen, sistem hubungan luar negeri.

Secara istilah Haji merupakan syariat Nabi Ibrahin AS yang dikukuhakan kembali kepada Nabi Muhammad SAW menjadi syariat bagi umatnya sebagai rukun. Dalam haji terdapat tonggak sejarah yang sangat menentukan bagi tegaknya kembali kekuatan Islam di seluruh dunia. Banyak hikmah yang dapat kita petik di balik “ceremonia” atau ritualitas haji, yang dipandang sebagai simbolisasi “perjuangan”, “proses memenangkan peperangan”, “kekuatan spitual”, “konsolidasi internal”, “keajaiban hidup” dan sebagainya.

Orang-orang yang mampu melaksanakan haji adalah bukti yang ditunjukkan Allah SWT untuk keterwakilan suatu suku, kelompok, kaum, bangsa atau negara dalam rangka memeuhi panggilan Allah SWT sebagai orang-orang yang dikukuhkan tetap dalam keterwakilannya. Itulah sebabnya, kita melihat segala bangsa, suku dan profesi bertemu di Rumah Allah, Rumah yang Ajaib dan Agung itu. Setiap kelompok setiap tahunnya punya keterwakilan. Ada yang mewakili buruh, petani, LSM, Pemerintah, para wali, sufi, pers, guru, pengusaha sampai pada seorang gembel pun ada perwakilannya.

Haji di Indonesia
Persoalan haji adalah persoalan negara. Berarti urusan Ibadah termasuk harus dikelola negara. Baik tidaknya ibadah warga negara ada keterkaitan terhadap fasilitas yang berikan negara di dalamnya. Jelasnya, urusan Islam berhubungan dengan negara. Di Indonesia, kendati rukun Islam ada lima, namun hanya UU yang mengatur haji dan zakat saja yang ada. UU Syahadat, sholat dan puasa belum ada. Terlepas dari “spekulasi” dan penilaian barangkali Haji dan Zakat ada duitnya (dapat memberikan input bagi negara), kita masih perlu bersyukur pemerintah masih mau mengurusi persoalan ke dua rukun Islam ini yang suci ini. Namun muncul pertanyaan, mungkinkah sesuatu yang suci dikelola oleh oknum-oknum yang tidak suci hatinya? Untuk menjawab hal itu, perlu dilihat dulu kenyataan bagaimana zakat dan haji dikelola. Kendatipun keduanya sama-sama bermasalah, di sini kita tidak membahas soal zakat, melainkan menukik langsung ke persoalan haji.

Sekali lagi sebagaimana diketahui banyak orang, urusan haji di Indonesia banyak menimbulkan masalah. Karena di negara sudah bayak bercampur yang hak dan yang batil. Apalagi haji sudah dijadikan oknum-oknum tertentu sebagai “barang dangagan” demi hawa nafsu keduniaan. Dari persoalan ONH, Kuota, Asrama, pengelolaan, pelayanan sampai pada kepulangan. Bila dihitung-hitung, rasanya perlu mengabiskan puluhan buku tebal untuk menuliskannya.

Banyak kalangan mencoba mengusulkan solusi persoalan seputar haji ini. Di antaranya sebagaimana yang diungkapkan Sekretaris MUI Pusat Dien Syamsuddin dan Mantan Menag Tarmidzi Taher, Kuota dari Depag untuk pejabat negara pergi ke tanah suci tahun ini sebaiknya dihapuskan saja dan jatah mereka diberikan kepada rakyat. Juga diusulkan rombongan amirul hajj ditiadakan karena jumlahnya membengkak dari apa yang ditetapkan menteri.

Menko Kesra Yusuf Kalla pun ikut bicara. Katanya, pemerintah akan keluarkan Keppres tentang haji, di mana seorang calon haji boleh melaksanakan haji sekali lima tahun. Karena hal ini pun dinilai bermasalah. Soalnya, banyak orang yang haji 3-4 kali masih diberangkatkan sementara yang belum pernah harus menunggu, bahkan kehabisan kuota. Meskipun Menurut Yusuf Kalla ONH 30.000 calon jemaah haji yang gagal berangkat akan dipulangkan, namun apakah persoalan ini akan selesai sebatas pemulangan uang. Bagaimana dengan bunga deposito di Bank-bank ONH selama ini yang nilainya milyaran bahkan triliunan rupiah itu dan tanggung jawab moral pemerintah terhadap dampak yang mungkin muncul.

Membangun Hubungan (Sistem) Infokom
Secara filosofis, haji adalah puncak tertinggi dari pembagunan Islam yang dimulai dari pengukuhan syahadat sebagai fondasi/azas (pembangunan Idiologi Islam), sholat sebagai tonggak/tiang/tulang punggung/pilar (pembangunan aparatur dan militer dalam Islam) zakat sebagai naungan/pengayoman (pembangunan sistem ekonomi umat), puasa sebagai dinding/tembok/perisai (pembangunan sistem informasi dan komunikasi/ hubungan luar negeri). Dengan demikian sempurnalah Islam dalam wujudnya sebagai negara Muslim yang kuat dan tak terkalahkan. Bila diumpakan tubuh haji merupakan sistem penglihatan dan pendengaran. Bila dalam perang urusan haji seperti urusan intelijen yang mencakup infiltrasi dan netrasi. Jadi sangat “telak” apa yang dialami calon jama’ah haji kita pada musim haji tahun ini. Taruhlah, ini tidak dianggap sebuah kegagalan diplomasi. Namun kelihatannya tidak seperti di negara-negara lain, banyak menteri yang merasa malu atas kegegabahannya sehingga mengundurkan diri atau meminta maaf kepada calon jemaah yang tentu saja sangat kecewa. Ini pun tidak dilakukan.

Dari segi syariatnya, pelaksanaan manasik haji adalah gambaran “puncak perjuangan” memenangkan Islam. Dari Thawaf dapat dilihat bagaimana proses sikluitasi berjalan menurut arus searah menggambarkan mekanisme “penghambaan dan ketaatan” harus berjalan seiring. Dalam sa’i dapat dilihat betapa konfirmasi guna mengikuti perkembangan perlu dilakukan agar menemukan jawaban paling “fit”. Begitu pula wukuf yang dapat menunjukkan betapa Islam menghimpun seluruh kekuatan untuk melakukan konsolidasi dan sharing informasi dan seterusnya. Jelasnya, Allah SWT telah mensyariatkan Haji sedemikian rupa agar dapat diaktualisasikan dalam dunia Islam, tidak hanya sebatas ritualitas atau “gelar dan embel-embel nama”.

Firman Allah (QS. Al-Baqarah 2: 160-163), “Dan ingatlah ketika kami menjadikan rumah ini (ka’bah) sebagai mastabah (tempat pengukuhan/pelantikan) dan pengamanan, dan menjadikan dari tempat tegak Ibrahim sebagai tempat Shalat. Dan kami janjikan kepada Ibrahim dan Ismail agar mereka berdua mensucikan Rumah-Ku itu bagi orang-orang yang thawaf, beriktikaf, rukuk dan sujud). Ibrahim berkata, Jadikanlah negara ini negara yang dipercaya (aman) dan berilah rezeki di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Allah berfirman: “Siapa yang menentang, maka Aku akan memberinya kesenangan sedikit (dunia) selanjutnya, Aku akan mencampakkannya ke neraka Jahannam sebagai tempat kembali yang (jelek). Oh Tuhanku jadikanlah kami orang-oarng yang menegakkan sholat dan dari generasi (keturunan) kami. Ya tuhan kami. Oh tuhan Kami terimalah kami (untuk menghadap) dan terimalah kami. Sesungguhnya Engkau maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Tamu Allah
Selamat jalan Tamu Allah…semoga menjadi haji yang Mabrur. Ungkapan ini rasanya paling pantas untuk mengantarkan para calon jamaah haji kita. Namun perlu disadari, keberangkatan ke tanah suci bukan saja untuk pribadi yang melaksanakan tetapi juga untuk keterwakilan bangsa dan golongan kita. Haji mabrur adalah haji yang dapat mengukuhkan kedudukannya sebagai “orang yang mapan” di kalangannya. Seorang haji dari kalangan pers akan semakin mapan di bidangnya. Seorang perwira yang haji akan semakin mapan dalam tugas pengamanannya. Sebaliknya, bila hajinya tidak Mabrur maka ia juga akan semakin “parah” dalam melakukan tindakan yang menyimpang dari ajaran agama. Misalnya, seorang koruptor yang berstatus haji akan semakin mapan dalam menyelewengkan harta negara.

No comments:

Post a Comment