Thursday 21 May 2009

"Taqarrub Ilallah" menuju Taqwa

Setelah dilihat bagaimana sisi-sisi pemaknaan itu, berikutnya akan dikemukakan bagaimana Qurban itu sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dalam upaya mencapai gelar Taqwa. Taqwa di sini berarti tangguh. Tangguh melaksanakan perintah dan tangguh pula meninggalkan larangan.

Taqwa, tentu saja sangat mahal bagi seorang yang kerjanya berangan-angan. Taqwa itu umpama terminal utama tempat memberangkatkan kita dengan kenderaan utama, ridho Allah. Seperti dikemukakan tadi, taqwa juga tidak salah bila diumpamakan bagai sembelihan yang besar, kader yang agung, ternak yang dewasa atau mujahid yang matang dan mapan di bidangnya.

Untuk meraih taqwa diperlukan proses pendekatan yang dikenal dengan "Taqarrub ilallah" atau mendekatkan diri kepada Allah. Dalam proses ini perlu dilakukan pengenalan yang berkontiniuitas (berkesinambungan) dan sustainibilitas (berkelanjutan) Artinya, semakin dekat kita kepada Allah, logikanya pasti akan semakin jauh kita dari musuh Allah dan hal-hal/sesuatu yang dibenciNya. Caranya tentu saja bermacam-macam. Namun salah satu yang disyari'atkan dari umat yang terdahulu adalah dengan menyembelih hewan ternak. Para sahabat Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan, Qurban tidak dilihat dari sisi jumlah, karena standarnya dapat berubah sesuai kemampuan orang yang berqurban. Ibnu Abbas sendiri pernah hanya berqurban dengan 3 kg daging. Sedangkan Bilal pernah berQurban dengan menyembelih seekor ayam jago. Jadi secara kasat mata, daging, tulang, bulu, mata dan darah binatang tidak memiliki nilai apapun. Itu hanya seremoni dan ritualitas sifatnya. Yang penting itu niatnya, prosesnya dan tata cara pelaksanaanya yang harus sesuai ketentuan al-Qur'an sunnah, seperti menghadap Qiblat dan dengan menyebut nama Allah (membaca bismilllah Allahu akbar).

Firman Allah: QS.22 (al-Hajj): 34.
"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari'atkan penyembelihan (Qurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka. Maka Tuhanmu ialah Tuhan YME. Karena itu berserah dirilah kamu kepada Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk dan patuh".

Dalam mazhab syafi'i Qurban hukumnya sunat muakkad. Sedangkan bagi mereka yang hanafiyah berpendapat hukumnya wajib. Dalam hal pembagian, faqir miskin mendapat 1/3 (yang dapat dikatagorikan peminta-minta) dari hasil Qurban, sepertiga lagi boleh bagi pemiliknya atau/dan 1/3 lainnya untuk harokah (lembaga) dalam katagorinya sebagai seseorang atau suatu institusi yang rela dengan apa yang diberikan anggota/warga institusi yang mengadakan Qurban itu.

Firman Allah QS. Al-Hajj (22): 28, 36: "Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah diketahui terhadap rezeki berupa binatang ternak dari Allah. Maka makanlah sebahagiannya dan yang lain berikanlah untuk dimakan orang-orang sengsara lagi faqir. ….Kemudian apabila telah roboh/mati (unta itu) maka makanlah sebahagiannya dan berilah makan orang yang rela dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu mudah-mudahan kamu bersyukur".

Untuk mengetahui tingkat ketangguhan, kemampuan, penguasaan, kemapanan, kemahiran, kecakapan dan kematangan seseorang di bidangnya sebagaimana kita memberikan pengertian Taqwa di atas tadi, ia harus diuji dengan merasa sakit dan penderitaan seperti bentuk kelaparan, ketakutan, kehilangan dan kerugian. Ini hal yang umum sifatnya.
Bila menukik kepada persoalan qurban, jelaslah qurban merupakan simbolisasi makna-makna yang tercakup di dalamnya. Signifikannya, ketika Allah hendak melihat ketaqwaan hambanya, ia terlebih dahulu menguji hambaNya itu dengan "memerintahkan" sesuatu atau hal-hal yang sangat dicintainya untuk dipersembahkan kepadaNya atau dengan cara membuatnya merasa sakit dan menderita.

Hal ini acap kali terjadi dalam kehidupan seorang pejuang atau siapa saja yang hendak belajar mengenal makna kehidupan, di mana sewaktu-waktu saat dituntut kontribusi bagi perjuangan. Dalam hal ini banyak di antara kita yang belum siap, tidak rela, mendua hati, tidak ikhlash dan sebagainya. Padahal ketika menuntut hak, "paling getol dan paling ribut". Keadaan ini boleh jadi dalam berbagai bidang. Kita bisa melihat dan mendengar ada "oknum-oknum" PNS yang selalu menuntut kenaikan gaji, padahal kerjanya hanya "molor" dan "makan gaji buta". Begitu juga orang-orang yang selalu menuntut ham him hum, atau oknum "rakyat" yang selalu menuntut "hak hik huk" di kantor DPR atau DPRD. Emangnya anggota DPRD itu bisa apa sehingga harus menuntut hak sama mereka. Paling-paling mereka hanya "cakap-cakap". Begitu juga dalam pencalegan suatu Parpol, baik partai orang-orang yang beriman maupun partai setan dan sebagainya. Padahal tak jarang, yang menuntut pun (baik oknum yang mengaku rakyat dan pejuang HAM tadi) barangkali pelanggar Ham atau perampas hak sesama. Jadi, yang mana yang betulnya? Betul tidaknya itu relatif.

Namun yang pasti, sikap rela berkorban dan ikhlash untuk memberikan yang terbaik adalah "kunci" kemapanan dan ketangguhan. Jangan difikirkan apa dan berapa keuntungannya, tetapi fikirkan apa dan berapa yang harus dikorbankan untuk mencapai keberuntungan tadi. Selain itu, tahan menderita nggak, bisa menahan sakit nggak?

Dengan demikian, kesakitan dan penderitaan merupakan sarana mencapai keberuntungan seorang pengabdi; dan oleh karena itu jelaslah pula, bahwa Qurban merupakan sarana, alat atau sejenis media ibadah dalam rangka menyampaikan niat seorang hamba mempersembahkan semangat pengabdiannya kepada Khaliqnya.

Firman Allah QS. 22 ayat 37:
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik".

No comments:

Post a Comment