Thursday 21 May 2009

Isra’ Mi’jraj: Perjalanan Menuju Kebangkitan Umat Islam Bangsa Indonesia

27 Rajab yang Umat Islam memperingati peristiwa bersejarah yang dialami oleh Rasulullah Muhammad SAW, yakni isra’ Mi’jraj persisnya pada tahun kesebelas diangkatnya beliau menjadi Nabi dan Rasul.

Selama ini tidak sedikit di antara kita, khususnya di Indonesia yang menganut agama Islam setiap tahunnya senantiasa memperingati peristiwa ini, baik dengan mengadakan tabligh akbar, ceramah agama, perlombaan seni islam dan sebagainya.

Selain itu, kita juga sudah cukup banyak mendengar seputar kisah Isra’ Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW baik selama perjalanan sejak di Masjidil harom sampai menerima perintah Sholat 5 waktu sehari semalam, lantas kembali lagi ke rumahnya dan berbaring lagi di sebelah ummul mukminim Aisyah Ra; maupun hikmah-hikmah, cerita-cerita dibalik kejadian itu. Bahkan juga, kitapun sudah pernah mendengar tentang tanggapan kaum Quraisy, Abu Bakar yang dijuluki Nabi Ash-Shiddiq karena beliau manusia yang pertama membenarkan dan lainnya tentang peristiwa yang beliau alami itu.

Oleh karena itu, yang hendak dikemukakan di sini tak lain dan tak bukan sekedar siaran ulangan, yang sebenarnya sudah sangat sering diulang-ulangi oleh para ulama, ustadz-uztadz, guru agama dan sebagainya; atau dari apa yang kita baca di literatur-literatur Islam serta yang kita dengar dari media massa. Kesemuanya itu adalah khazanah bagi kita, perbendaharaan informasi, ilmu dan wawasan bagi kita, untuk dapat kita resapi, hayati dan kita petik buahnya, kita nikmati inti sarinya. Sehingga yang sangat kita harapkan dari semua itu, agar dapat terjadi perubahan-perubahan spritual dalam diri kita dan keluarga kita.

Namun tak kalah pentingnya adalah penjabaran mengenai apa realisasi peristiwa ajaib itu dalam kehidupan pribadi seorang yang mengaku mukmin dan bagaimana Peringatan Isra’ Mijra’ yang menjadi track record suksesnya para Nabi khususnya Muhammad SAW dalam membangun bangsa Arab bagi perjalanan bangsa Indonesia ke depan, sehingga Umat Islam Bangsa Indonesia (UIBI) mampu memperbaiki citranya di Dunia internasional, terutama Barat.

Sehingga diharapkan pula, dapat kita jadikan bahan diskusi bersama untuk menyegarkan kembali ghirah jihad dan semangat juang kita untuk memperjuangkan kejayaan Islam di tengah-tengah bangsa kita. Dan secara bertahap pula akan memancarkan rahmat ke seluruh penjuru dunia, bagaikan cahaya Allah yang diumpamakan minyak dari sejenis pohon zaitun yang minyaknya saja walau tak disentuh api, dapat menerangi layaknya pelita raksasa.

Dalil Al-Qur’an dan Hadits

Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Mahasuci (Allah) Yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) dari Masjidil Harom ke Masjidil Aqsa yang telah Kami beri berkah di sekelilingnya, supaya hendak Kami tunjukkan sebahagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Surah Al-Isra/Bani Israil (17): 1)”

Dalam sebuah hadist diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Aku sholat malam bersama kalian di sini kemudian aku pergi ke Yerussalem di mana aku shalat di situ dan dini aku sholat fajar bersama kalian lagi”.

“Ya Rasulullah”, kata Ummu Hani, “Jangan kau ceritakan ini kepada manusia, karena akan mengingkari dan menyakitimu”.
“Sungguh aku akan menceritakannya”.

Isra’ Mi’raj: Hijrah dan Sholat
Kisah Isra’ Mi’raj berawal ketika suatu malam Nabi Muhammad terkantuk-kantuk di rumah sepupunya Ummu Hani puetri Abu Thalib, ia dijemput malaikat Jibriel untuk mengunjungi Masjidil Aqsha di Yerussalem dengan mengenderai buraq (sejenis kilat) yang dalam ukuran manusia saat itu akan menempuh perjalanan satu bulan pergi satu bulan pulang; lalu Jibriel mengiringinya menembus tujuh lapis langit. Jibriel hanya diizinkan Allah mendampingi Nabi sampai suatu tempat yang disebut Sidratul Muntaha (lembaran-lembaran terlarang). Nabi SAW sendiri menghadap Allah dan menerima langsung perintah Sholat yang semula berjumlah 50 waktu sehari semalam, dalam proses negoisasi atas saran-saran sejumlah Nabi-Nabi yang menjaga langit seperti Musa, Ibrahim, Idris, Nuh dan lainnya, Nabi bolak-balik menyampaikan permohonannya untuk terus mengurangi jumlah waktu sholat sampai akhirnya menjadi 5 waktu sehari semalam.

Sebenarnya banyak sekali hal-hal yang perlu untuk dikritisi mengenai kronologis Mi’raj. Apakah mengenai riwayat-riwayat di seputar Rasul singgah ke surga dan neraka, berdialog dengan sejumlah Nabi, maupun mengenai wujud buraq yang dikenderai Rasulullah. Namun mengingat hadits tentang Isra’ Mi’raj umumnya panjang-panjang. Sehingga memerlukan pembahasan lebih lanjut.

Namun yang hendak ditekankan di sini adalah, peristiwa isra’ mi’raj hakikatnya adalah pengukuhan syari’at sholat dalam syaria’t Muhammad. Sebab sebelum Muhammad bukan tidak ada sholat. Ada. Hanya saja masih menggunakan syar’um man Qablana (syariat Nabi sebelumnya). Pada prinsipnya ada dua hal yang diinginkan Allah SWT mengisra’mi’rajkan Muhammad SAW. Namun kedua hal ini hakikatnya adalah satu. Yakni, sama-sama untuk perjuangan Islam dan jihad fi sabilillah semata. Kedua hal yang dimaksud adalah Hijrah dan Sholat.

Adapun Hijrah, merupakan tuntutan ketika itu. Abu Thalib yang selalu membela perjuangan beliau hanya berselang beberapa bulan wafat. Demikian pula isterinya Khadijah RA. yang selalu menopang dan mensupport tegaknya dienul Islam pun menyusul dipanggil Allah beberapa bulan setelah pamannya Abu Thalib meninggal, sehingga tahun tersebut disebut tahun duka cita. Dengan wafatnya dua penopang utama ini, orang-orang kafir Quraisy semakin genjar melakukan penyiksaan, pencobaan pembunuhan terhadap Nabi dan para pengikutnya. Setelah diboikot habis-habisan, diteror terus menerus. Akhirnya setelah Isra’ secara simbolis bersama Jibriel dilakukannya, maka Isra’ secara praktis benar-benar terjadi sebagaimana kebanyakan Nabi dan kebanyakan orang-orang terdahulu, diusir dari negeri sendiri oelh bangsa sendiri. Singkatnya, Rasulullah SAW mau tidak mau, tidak bisa tidak, harus melakukan perjalanan jauh bersama pengikutnya di malam hari dalam rangka menghindari tekanan yang tidak punya prikemanusiaan lagi atau yang diistilahkan sekarang pelanggaran HAM berat. Itulah peristiwa Hijrah sebagai buah dari Isra’.

Sedangkan sholat merupakan Mi’raj itu sendiri. Sebagaimana Sabda Nabi SAW: “Ashsholatu Mi’rajul Mukminin”, sholat itu Mi’rajnya orang-orang mukmin. Nabi menerima pengukuhan syariat sholat saat Mi’raj ke langit menuju pusat alam semesta adalah untuk menerima perintah sholat. Sholat disyari’atkan saat itu bukan saja sebagai sebuah kebutuhan spritual di mana secara batiniyah, kaum muslimin sangat perlu wahana yang mampu memperkuat kekuatan mental-spritual dalam menghadapi orang-orang kafir, musrik dan munafik; bahkan lebih jauh sholat telah menjadi ukuran kedekatan seorang mukmin dengan Penciptanya. Dengan kata lain sholat merupakan sarana atau alat naik bagi seorang mungkin baik dalam derajat ketaqwaannya, posisi sosialnya sesama mukmin, maupun yang paling penting ketinggian kualitasnya dan kedekatannya dalam pandangan Allah SWT.

Perjalanan Menuju Kebangkitan UIBI
Satu-satunya dalil al-Qur’an tentang peristiwa Isra’ adalah ayat pertama surat al-Isra’. Surah al-Isra’ ini oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat juga menyebutnya dengan surah Bani Israil. Hikmah yang terkandung pada “dua nama pada surat yang sama” dalam al-Qur’an banyak sekali. Salah satunya adalah mengajak kita melihat sesuatu yang sama dari aspek yang berbeda. Kesamaan dua atau lebih nama surat biasanya menunjukkan makna yang sama yang ingin ditunjukkan melalui aspek lain. Misalnya, nama lain dari surah at-Taubah yaitu Bara’ah.
Dan memang dalam hal ini yang dimaksud dengan taubat itu adalah bara’ah itu sendiri. Hanya saja sudut pandangnya yang berbeda. At-Taubah artinya kembali. Sedangkan Bara’ah artinya melepaskan diri/pemutusan hubungan. Maksudnya, orang yang bertaubat tentunya orang yang ingin kembali ke jalan Allah atau jalan kebenaran; pada saat yang sama harus menjadi orang yang bara’ah. Artinya, orang yang melepaskan diri dari jalan selain Allah atau memutuskan hubungan dengan segala jenis kejahatan/ kesalahan masa lalunya.
Demikian pula penamaan surat Isra’ dan Israil. Kata Bani Israil sendiri berasal dari dua kata yakni, kata Bani (artinya generasi, keturunan, anak-cucu; bentuk jamak setara abna-a, banin dari kata ibnu) dan kata Israil (yang berasal dari bahasa serapan Ibrani yang berarti berjalan di waktu malam). Jadi, Bani Israil artinya generasi yang berjalan malam. Bani Israil di sini, maksudnya keturunan Nabi Ya’qub AS, yang bergelar Israel karena keluar bersama pengikutnya dari saudara sebangsa dan setanah air lantas kemudian melakukan perjalanan di waktu malam dari negeri Kana’an (daerah Palestina sekarang) pada waktu malam untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Sedangkan kata Isra’ itu memang menunjukkan kepada perjalanan yang dilakukan pada malam hari juga sebagaimana yang dimaksud dengan kata Israil; hanya saja kata Israil lebih sifatnya kolektif ketika diidhafahkan atau dikaitkan dengan kata Bani, sedangkan kata Isra’ menunjukkan pelaku tunggal yakni Rasulullah SAW. Oleh karena itu, penamaan surat Isra’ yang menjadi satu-satunya dalil al-Qur’an mengenai peristiwa bersejarah tersebut dengan nama lain Bani Israil sebenarnya menunjukkan kejadian yang sama pada waktu yang berbeda dengan pelaku yang berbeda pula.

Jadi sebenarnya, Nabi Ya’qub AS juga pernah melakukan Isra’ di masanya dengan sebab, alasan dan tujuan yang sama dengan Nabi Muhammad SAW di masanya. Untuk lebih dapat memahami hal ini, kita dapat membandingkan pula dengan apa yang dialami oleh Nabi Musa AS di masanya. Firman Allah: “Dan sesungguhnya telah kami wahyukan kepada Musa: “Berjalanlah (Asri) kamu bersama hamba-hambaku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di tengah laut itu; kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tak usah takut akan tenggelam” (QS. Tho-ha 20: 77).

Dari ayat tersebut jelaslah Nabi Musa AS juga mengalami Isra’ bersama pengikutnya di malam hari guna menghindari kejaran kelompok Militer Fir’aun. Sama halnya dengan Muhammad saat hijrahnya juga dalam pengejaran kaum Quraisy.

Namun bagi kita umat Islam bangsa Indonesia yang sudah sangat sering disakiti dihina, dicemooh dan dituduh teroris (sebab kata Jamaah Islamiyah itu artinya semua orang yang mengaku Islam) dapatkan mengambil sari pati Isra’ Mi’rajnya Nabi Muhammad ini sebagai satu karomah atau kemuliaan bagi umat Islam. Dapatkah umat Islam yang masih bersih jiwanya, masih tertindas batinnya melihat kemaksiatan yang semakin merajalela di Indonesia untuk dapat menangkap dan menerima pesan-pesan yang terselubung, tersembunyi yang dikemas Rasul dibalik sejarah yang ia tulis dengan tinta emas, tinta air mata bahkan tinta darah? Itulah sejarah kebangkitan. Akan ada sejarah yang hancur menyusul sejarah kebangkitan. Akan ada yang tutup buku, dan yang lainnya buka lembaran baru. Tinggal, semua kita yang memilih di pihak yang mana.

Lantas ke mana kita akan bawa umat ini melakukan perjalanan di malam hari atau ke mana kita hendak lari? Kita dikejar siapa? Kan itu pertanyaannya. Bagi kita yang merasa dikejar-kejar, entah itu dikejar-kejar oleh dosanyanya sendiri atau karena ulahnya sendiri, cobalah untuk hijrah “menemukan sesuatu yang baru”. Seterusnya, bagi yang hendak membawa dan mengawal umat ini, silakan siang hari saja mau malam juga boleh. Terserah. Yang penting sebenarnya, galang persatuan umat Islam bangsa Indonesia dengan membangun jaringan dakwah dan sebagainya. Buat seolah kita bekerjasama dengan siapa saja, biarpun itu musuh Allah sekalipun. Buat siang seperti malam dan buat malam seperti siang. Bekerjalah dalam gelap malam sampai mulai tampak tanda-tanda fajar kemenangan seperti kata mantan Presiden Mesir Anwar Sadat.

No comments:

Post a Comment