Thursday 21 May 2009

Qurban, Korban dan Taqarrub, Apa Hubungannya (?)

Qurban secara bahasa berarti dzibah atau penyembelihan. Dalam ajaran agama Kristen dikenal Mezbah yang merupakan meja atau semacam altar tempat persembahan kepada Tuhan, baik itu berupa anggur maupun roti. Kata Qurban sendiri dalam bahasa Arab berasal dari kata Qaraba yang dibentuk dalam isim bina mubalaghah dari timbangan kata fu’laan (ditambah huruf alif dan nun), memiliki arti bersangatan, Padanan kata ini misalnya, terdapat pada kata qara’a yang berubah bentuk menjadi qur’an (sangat sering dibaca), kata sabaha menjadi subhan (maha suci), na’ima menjadi nu’man (penuh kenikmatan) dan malaka menjadi mulkan (kekuasaan yang kokoh).

Dari akar kata Qarban (mashdar dari Qaraba) banyak diperoleh berbagai kata bentukan lain. Misalnya, Qoriib dan Qarabah (dekat) yang ditransfer dan direduksi ke dalam bahasa India, Kareeb (dibaca: Karib, artinya dekat) dan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata karib kerabat, akrab.

Selanjutnya kata Qurban sendiri, selain istilah yang dikenal sebagai salah satu ibadah dalam Islam juga dalam bahasa Indonesia –entah sejak kapan- telah dibakukan menjadi satu kata dasar, yaitu kata korban; sehingga terbentuk kata berimbuhan berkorban dan pengorbanan. Hal ini diyakini disebabkan adanya hubungan kesamaan dalam makna yang terkandung pada kata Qurban. Selain bentukan kata yang disebutkan tadi, kata Qurban juga mempunyai akar kata yang sama dengan taqarrub (proses pendekatan diri) kepada Allah.

1. Makna dan Kedudukan Qurban
Secara syariat Islam, Qurban bermakna menumpahkan darah hewan sembelihan. Bila dikaji lebih mendalam, di dalam makna ini terdapat suatu hakikat kebenaran, yakni kesakitan, penderitaan dan kerugian. Hal inilah barangkali membuat orang Indonesia mengambil kata Qurban lantas dibahasaindonesiakan menjadi “korban”. Sebab kita ‘mafhum’ alias tahu sama tahu, yang namanya ‘korban’ memang selamanya menderita, mengalami kesakitan dan penderitaan atau kerugian, baik secara fisik material maupun mental spiritual.
Belum pernah kita dengar kata korban dimasukkan ke dalam kalimat yang enak-enak atau berkonotasi keberuntungan seperti misalnya, si Halimah (pinjam nama dulu) salah seorang ‘korban’ dalam pesta itu; atau ada kalimat, dalam pengumuman lomba memasak itu, si Ari memberikan hadiah kepada 5 ‘korban’. Ini jelas salah, karena selama masih berstatus korban, pasti tidak ada enaknya.

Di media massa kita juga sering mendengar misalnya ada berita, 2 ruko terbakar, tidak ada korban jiwa; atau terjadi pemboman di Irak, 5 korban tewas 30 lainnya luka-luka; begitu juga kata korban pembunuhan, korban perkosaan, korban bencana alam dan korban perampokan. Dalam bahasa anak muda pun ada istilah ‘korban perasaan’.

Nah, selanjutnya secara hakikat, Qurban mengandung makna mendidik, menguji dan melatih. Kenapa demikian? Pemaknaan mendidik di sini berkaitan erat dengan makna ‘memisahkan’. Kalau yang disembelih itu seekor kambing, unta, lembu atau ayam, maka akibatnya terjadi pemisahan antara kepala dan badan disebabkan lehernya disembelih berdarah-darah. Jelas ada unsur kesakitannya.

Bila makna ini diterjemahkan ke dalam sebuah proses pendidikan, seorang kader, murid, santri, siswa atau apalah namanya, pasti akan mengalami berbagai pemisahan. Seorang ‘kader mujahid dengan senantiasa dididik ber“al-Qur’an” pasti akan terjadi pemisahan antara pola fikir (di kepala) dan iman (di hati), pemisahan hak dan batil dan pemisahan kepentingan jihad dan dunia (selektif).

Begitu pula halnya, seorang anak didik kemiliteran harus mampu memisahkan “urusan tugas” dan “urusan kekeluargaan”. Seorang kader organisasi harus dapat memisahkan antara perasaan dan logika pergerakannya. Kader bisnis pun begitu, harus mampu memisahkan rasa sosial dengan logika bisnisnya. Sehingga, jadilah mereka kader yang tangguh, yang mapan di bidangnya, yang tahan uji lagi tahan menderita. Kader yang sabar dan bermental “pertapa” dan “tidak takut dirugikan”, seperti ternak yang dewasa yang bersedia digembala dan siap disembelih.

Inilah salah satu tolak ukur keberhasilan seorang pendidik dalam setiap Tujuan Pendidikan Khusus (TPK), di mana, peserta didik harus dapat memilah-milah dan menentukan pilihannya. Sebelum standart ini terpenuhi, insya Allah, perusahaan, organisasi, sekolah atau lembaga apapun namanya dijamin akan kecewa, karena hanya akan melahirkan karyawan-karyawan yang “menggek”, tentara-tentara yang tidak disiplin, kader-kader yang “cengeng”, orang-orang pergerakan atau bisnismen yang mudah frustasi dan “merajuk”, yang tidak bisa dijamin kapabilitasnya (layak dan mampu), kualitasnya (bermutu dan bernilai), kredibilitasnya (jujur dan berakhlak mulia) apalagi integritasnya (patuh dan punya rasa memiliki) dan loyalitas (setia dan pembela) kepada siapa (institusi) yang mendidiknya. Jadi, dalam pemaknaan ini kita harus belajar dari Nabi Ibrahim Alaihis Salam. Firman Allah SWT QS. 37: 100-108:

“(100). Ya Tuhanku anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang shaleh. (101). Maka kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran seorang anak yang amat sabar. (102). Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku meyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu”. Ia menjawab: “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (103). Tatkala keduanya berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya (nyatalah kesabaran keduanya)”. (104). Dan Kami panngillah dia, “Hai Ibrahim”, (105) sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, “sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (106). Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (107). Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar, (108). Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian”.

No comments:

Post a Comment