Thursday 21 May 2009

Surah Al-Ashr: Kerja Keras Sepanjang Masa

Al-‘Ashr sering diterjemahkan dengan masa. Sementara penerjemahan ini baru dikenal dalam bahasa Arab modern, belum diketahui pasti sejak kapan pengertian ini mulai diperkenalkan. Tahu-tahu sejak awal abad 20 hingga sekarang, muncul dan dipopuler pula istilah ‘Ashriyyah yang berarti modern, sedangkan modern itu sendiri berarti “baru”.
Namun jika dicari-cari hubungannya, mungkin penyelarasan arti kata “baru” yang dimaksud dalam kata “modern” dipandang menurut pengertian “sesuai tuntutan masa” sebagaimana yang dimaksud dalam ‘ashriyyah. Sehingga harus diimbuhkan dengan huruf ya nisbah (menunjukkan pembangsaan/penjenisan) dari al-‘Ashr menjadi al-‘Ashriyyah.

Padahal dalam bahasa Arab, sebenarnya banyak lafazh Arab asli yang menunjukkan pengertian masa. Misalnya, kata yang lebih umum “az-Zaman” yang berarti masa; “Dahr” yang bearti era atau kurun, yang menunjukkan rentang waktu berabad-abad; “Hienun” yang berarti babak, fase dan periode yang menunjukkan waktu-waktu tertentu yang diberi batas; “al-Waqt” yang berarti waktu yang masa yang lebih pendek dari kata “Hienun” dan lafzh-lafazh lain.

Penggunaan arti al-‘Ashr dengan masa tidak jauh berbeda dengan kemunculan istilah “daulah” yang berarti negara, yang juga tidak ditemukan dalam naskah-naskah Arab kuno. Padahal, arti dari al-‘Ashr sendiri diambil dari kata “‘Ashara” yang berarti “memeras”. Maksudnya, memeras anggur; karena kebiasaan orang-orang di semenanjung Timur Tengah (Arab) yang hidup di daerah Agraris, dulunya menggunakan istilah ini dalam mengambil sari pati anggur yang dipanen para petani dengan cara memerasnya.

Apabila pengertian ini lebih diumumkan, dapat berarti memeras hasil panen dan termasuk di dalamnya anggur tadi. Selanjutnya, jika kita ambil makna yang terkandung dari gaya bahasa yang terdapat dalam dalam ayat (1) yang hanya berisi dua kata ini (huruf waw lil-Qasam yang menunjukkan sumpah dan lafazh al-Ashr’), jelas ini menunjukkan bahwa Allah hendak menunjukkan keseluruhan proses yang dilakukan petani dari sejak pembajakan tanah, pembibitan, pemupukan, irigasi, pemeliharaan dari hama dan penyakit tanaman sampai pada proses yang terakhir, yakni panen; dengan cara menyebutkan ujung prosesnya saja sebagai mewakili dari seluruh proses yang telah berlangsung.

Banyak contoh yang dapat ditampilkan dalam menempatkan pengertian ini. Misalnya, dalam menuliskan daftar riwayat hidup atau data diri (Curriculum Vitae). Ketika membubuhkan data tentang pendidikan, dituliskan hanya tahun tamat saja, tidak sampai mendetail bagaimana mendaftarnya dahulunya, berapa jumlah nilai merahnya, berapa kali uang sekolahnya sempat ‘nunggak. Atau seumpama dalam percakapan sehari-hari. Ada yang bertanya, saat kita melintas, “Mana?”. Lantas kita jawab, “Medan!”. Seharusnya, pertanyaan itu berbunyi kira-kira, “Anda hendak ke mana?”. Dan jelas jawabnya lebih kurang, “Saya mau pergi ke Medan!”. Kenapa harus kata pada ujung kalimat yang dipakai. Kenapa tidak kata “saya” atau kata “hendak ke” saja. Padahal banyak kata yang terbuang, tetapi kenapa kita bisa faham maksud kalimat dengan menyebutkan kata diujungnya. Tentu karena kita tahu konteks dan penempatannya.

Demikian yang dimaksud kata “memeras” pada kata al-Ashr’ adalah “kerja keras”. Bila dijabarkan lagi, maksud kerja keras di sini adalah mengikuti proses dan memasuki tahapan-tahapan tertentu untuk dapat menikmati sebuah hasil (produksi).
Barangkali dari pengertian inilah kata al-‘Ashr diartikan masa, zaman atau era, karena di dalam sebuah era, zaman atau kurun itu terdapat proses dan tahapan-tahapan (fase) kehidupan, kebudayaan, perubahan, pertarungan dan sebagainya.

Bila ayat (1) ini dikaitkan dengan ayat kedua yang berbunyi “Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan merugi”, maka pengertian demi “kerja keras” lebih relevan dipakai ketimbang menggunakan “demi masa”, mengingat 5 alasan.

1. Hubungan “kerja keras” dengan kata “Khusr” yang berarti merugi. Merugi di sini bukan dalam arti “muflis” yang menunjukkan devisit dan sering diartikan orang dengan bangkrut, tumpur. Kata khusr sendiri, merupakan kebalikan (dhiddun) dari kata al-falah dan kata muflih yang berarti sukses, berjaya, menang atau berhasil. Oleh karena itu, al-Khusr lebih mendekati pengertian kalah, gagal, diskualifikasi, atau gugur dalam sebuah seleksi ketimbang pengertian merugi secara umum; apalagi merugi dalam dalam pengertian material, tentu akan sangat jauh mendekati sasaran ayat.

2. Hubungan “kerja keras” dengan kata al-Insan. Kata yang diterjemahkan dalam ayat (1) surat al-‘Ashr dibangun dari kata al-Insan, bukan kata an-Nas, al-Basyar atau kata Bani Adam yang masing-masing memiliki konteks dan aspek yang berbeda-beda. Kata al-Insan di sini jelas berkaitan dengan “kemampuan emosional” dan “pembentukan karakter”. Bukan dari aspek sosio-kultural sebagaimana yang tergambar dalam kata an-Nas, aspek biologi yang behubungan dengan fisiologi dan fungsi anatomi yang membangun memenuhi kebutuhan sebagaimana yang terkandung dalam kata al-basyar, atau aspek regenerasi dalam mewariskan sifat dan potensi sebagaimana pengertian manusia dari kata “Bani Adam”. Memang tidak salah diartikan dengan demi masa, karena pembentukan karakter dan pendewasaan emosipun memiliki kaitan dengan waktu dalam pengertian proses. Namun, akan lebih mendasar lagi bila al-‘Ashr yang pada dasarnya berarti memeras dalam maksud panen, bila dikaitkan dengan kata al-Khusr yang lebih didekatkan kepada pengertian kegagalan.

3. Hubungan “kerja keras” dengan iman. Iman artinya percaya. Maksudnya, sebagaimana yang disebutkan dalam Hadist-hadits Rasul yang meliputi beberapa aspek antara lain: Pokok-pokok keyakinan (6 rukun iman yaitu: Mengimani Allah, Malaikat Rasul, Kitab, Hari Akhir, Qadha dan qadhar), pokok-pokok kesadaran yang meliputi 60 cabang keimanan dan pokok-pokok perjuangan yakni, iman hijrah dan jihad. Dalam kaitan kerja keras, jelas kata iman akan memiliki peranan penting, baik sejak pemberian motivasi kerja, penetapan orientasi kerja dan tujuan akhir dari kerja keras yang dimaksud. Tanpa adanya pengetahuan menggali kesadaran, keyakinan dalam diri dan paradigma perjuangan, kerja keras. Orang yang bekerja keras adalah orang yang memiliki keyakinan dan kesadaran. Orang akan sanggup bekerja keras, tentu karena ada yang hendak dia perjuangkan atau yang hendak dia raih. Apakah itu perjuangan mempertahankan hidup, perjuangan meraih cita-cita dan sebagainya.

4. Hubungan “kerja keras” dengan ‘amal sholeh. Amal artinya kerja, aktifitas, kegiatan (work). Sedangkan kata sholeh berarti sering diartikan “baik”. Padahal kata baik sangat umum. Oleh karena itu, akan lebih tepat bila kata sholeh itu dicari makna yang lebih sesuai, yakni membangun, membina, (konstruktif). Pengetian ini sangat jelas kebenarannya sebagaimana yang dimaktubkan al-Qur’an dalam QS. Al-Baqarah (2) : 11. “Dan apabila dikatakan kepada mereka janganlah kamu membuat kerusakan (mufsid) di muka bumi, mereka menjawab: Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berbuat kebaikan (muslih)”. Dalam ayat tersebut jelas menggambarkan sholeh memiliki antonim, mufsid yang berarti perusak atau pembuat kerusakan.

5. Hubungan “kerja keras” dengan wasiat kebenaran dan wasiat kesabaran. Wasiat (taushiah) berarti pesan (message). Namun sering diartikan nasehat. Dalam kaitannya dengan kerja keras, ada dua hal perlu diperhatikan. Yaitu tentang al-Hak (kebenaran) dan shabr (kesabaran). Maksud Hak adalah kesejatian, sesuatu yang hakiki yang diakui existensinya (right). Adapun maksud kesabaran adalah kemampuan bertahan (survive) dan segala yang berhubungan dengan stamina dan kekuatan emosi dalam menghadapi segala tantangan hidup sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam QS. Ali Imron (3):146, “Dan berapa banyak di antara para Nabi yang berjuang bersama kebanyakan pengikut-pengikutnya yang setia, mereka tidak menjadi lemah hati karena bencana yang menimpa mereka, dan mereka tidak berputus asa dan mereka tidak pula menyerah kepada musuh. Maka berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.

No comments:

Post a Comment