Tuesday 4 December 2007

Puisi-Puisi JUFRI BULIAN ABABIL (I)

BUKAN AKU

Jika aku berkata –kata lebih tiga patah
Maka aku akan bernyanyi atau berpuisi
Karena aku ini seorang pemimpi
Suka tenggelam selam sunyi

Aku bernyanyi lagu diam
Aku berpuisi syair bisu
Laguku galau bukan main
Syairku untuk kau bukan lain

Kau dengar laguku dalam bisu
Pun kau sentuh puisi dengan diam berjari
Dan kau berkata sepatah dua
Siapa menjelang

Siapa bermimpi
Siapa senyap
Siapa sunyi
Siapa hilang
Siapa tenggelam

Kemana?
Siapa di luar
Siapa rebut
Siapa bernyanyi
Siapa berpuisi
Kau?

Medan, 8 Juni ’97




API CINTA

Api cinta…
Itulah yang akan membakar diriku
Disebabkan oleh rasa bosanmu yang
Coba memadamkannya
Hatiku penuh lautan Api yang dirimu
Ku ajak berenang di situ
Tapi tenggelam hanya diriku

Kau beriku cahaya, berganti api
Entah mengapa
Yang kuharapkan cinta, yang lahir benci
Cahaya kebahagiaan mendadak sirna
Api itu begitu cepat menyala…..

Api Cinta kutukan telah ku akhiri
Neraka Cinta kecurigaan kau mulai
Aku hanya terbakar, menderu
Kian jadi debu….
Lalu lenyap diterpa bayu….




LAMUNAN


Hari sudah siang rupanya
Ke mana malam membalut sunyi?
Mengapa terlalu cepat pagi?
Aku benci diri sendiri
Aku ingin tidur
Di mana di sana ku bertemu kedamaian
Berkasih sayang dalam arena mimpi
Ku rebahkan wujudku
Tapi mata enggan terlena
Rupanya ia sedang hanyut dalam duka
Mendengar cerita hati yang luka
Air mata pun berlinang
Kuseka ia malu kurasa
Aku terbayang
Waktuku berdiri antara dua pintu
Dia enggan menatapku
Juga tersenyum terlalu berat untuknya
Kekasih sudilah senyum!
Ia hanya membisu
Sentata menatap lekat wujudku
Aku hilang ditelan kebimbangan
Adakah cerita yang tersisa di benakmu
Semoga ia tidak turut pudar
Sebagaimana cahaya cinta
Aku memang bodoh sebagai kata mereka
Tiada jemu ku berkata bahwa aku
Tidak peduli
Aku tetap mencintai dirimu
Sebagai wanita sebelummu
Juga sesudahmu

Rantau Prapat, 1995




AKU KEHILANGAN

Sekuntum bunga mekar abadi
Sekeping hati yang retak terbentur benci
Sederet kisah kasih kekasih hati
Seonggak rindu lama ku menunggu
Seuntai kebahagiaan derita kurasakan
Secerah harapan merana tiada pesan
Seberkas cahaya cinta bersinar bahagia
Sebait syair tentang kemesraan telah berakhir
Secupak air mata perpisahan indahnya pertemuan
Sebuah lukisan kau pergi dari ilusi
Seulas senyummu penyejuk hatiku
Setitik madu kasih racun yang kutemu
Seorang kekasih pujaan hatiku
Sepotong makna dari indahnya cinta
Sejambak cemburu kala kau sedang mengujiku
Segumpal semangat demi hidup bersamamu
Seluruh perhatianku tiada kau pedulikan
Segala keramahan kau beri keangkuhan
Setimbum impian yang hampir jadi kenyataan
Segunung rasa kau hilang tiada kepastiaan
Selaut kegembiraan disitu kita tenggelam
Setengah dari kehidupanku tanpa pusara aku tiada
Sebentuk pelangi kasih sayang tanpa warna
Segenap kesetiaan bertukar pengkhianatan
Seutas tali persahabatan dua tahun telah berlalu
Sebatang pohon budi yang tumbuh tak berbuah
Selembar surat darimu tinggal lembaran kelabu
Kau………

Pinang Lombang, 1995





MENANTI


Merajut bimbang
Merindu panjang
Merana menyayang

Aku sayangi kasih
Lari menjauh terurai benang
Kasih kupintal sepi lama

Bertabuh kata
Bermesra sukma
Bersih berbisa

Pesantren At-Thoyyibah Indonesia
(25 Agustus 95)




PADA SEBUAH HALAMAN

Tak lekang dari ingatan
Sentana merangkak zaman
Kendati kau berjauh hati
Kini

Asa penghapus galau
Benturi kenangan terhalau
Kala kita berlempar-lempar senyum
Ranum

Aku bayangi kisah
Pada sebuah halaman At-Thoyyibah
Semoga kasihku musnah

Kau kuburkan rindu
Cuka seutas kenangan berlalu
Mata tak kering selalu

20 September 1995
Kumpulan Puisi Dumu'ud Daqi'




AKU DI DALAM WAJAH
DAN
DI ANTARA WAJAH-MU


Katakan, apa aku m,asih dapat bersama-Mu
Suka dan duka, selalu bersama-Mu
Kumohon, jangan usir aku seperti kakek-nenek
Moyangku Adam dan Hawa dari taman kesenangan di bumi
Biarlah aku menjadi pembantu di rumah-Mu
Membersihkan Kursi-Mu dan memikul Arsy-Mu

Hai, Malik Ul-Mulk! Tengok aku yang terus menatap-Mu
Dan akan terus begitu selama Kau abadi
Kecuali mataku menjadi buta karena merasa melihat
Dengan penglihatan-Mu

Saat ku berfikir dan berzikir, Kau pun merambat
Di kisi-kisi ingatanku
Membasuh sejarah dari kepalsuan
Menentang wajah-Mu Yang Maha Indah

Aku buruk memang, tiada yang menarik didalam diriku
Kecuali fikiran yang Kau berikan sebagai gaji
Pengabdianku kepada-Mu
Untuk menghidupi agama-Mu
Dan Al Bagana Anakku

SUARA MUHAMMADIYAH, YOGYA, 1997

Monday 24 September 2007

Gelar dan Nilai Seorang Kepala Negara

Oleh: Jufri Bulian Ababil

1. Manifesto Politik Surat 110, al-Lahab: 1-5
Bila ditelusuri lebih jauh makna-makna dalam al-Quur’an baik melalui kacamata sejarah, sosial budaya, sains dan teknologi, niscaya akan banyak ditemukan berbagai kandungan ayat yang bersisi segala hal yang tak terhitung banyaknya sesuai dengan susut pandang yang digunakan.
Ditinjau dari segi politik, surat al-Lahab mempunyai sejumlah konsep yang dapat dijadikan paradigma berpolitik, karena banyak faktor-faktor pelanggengan kekuasaan, teknik hagemoni dan sebagainya terkandung dari ayat-ayarnya.Dari sejumlah kalimatnya saja, terdapat beberapa kata kunci (keyterms) yang dapat dimaknai ke arah itu, antara lain: “Yada_ni” yang berarti kedua tangan; Abu Labah, artinya “Bapak Gejolak”; al-Mal, berarti harta (materi); “Kasab” berarti upaya atau usaha; “Hammalah al-Hatob” yang artinya, pembawa kayu bakar dan “al-Masad” yang dapat berarti belenggu karena dikaitkan dengan kata sebelumnya “Jie_d” yang berarti leher.Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat al-Lahab (110): (1) Celakalah kedua tangan Abu Lahab maka celakalah ia (2) Tiada akan bermanfaat dari padanya hartanya dan apa yang ia usahakan (3) Kami akan melemparkannya ke dalam api yanbg menyala-nayala (4) Dan isterinya adalah pembawa kayu bakar (5) Di lehernya ada tali dari belenggu neraka”.

2. Kekuasaan
Pada ayat pertama yang berbunyi: “Celakalah kedua tangan Abu Lahab maka celakalah ia” menyiratkan bahwa Abu Lahab sebagai seorang pemimpin yang menggunakan kedua tangannya untuk menghalang-halangi Nabi Muhammad SAW. Dalam banyak riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah pernah dilempari tahi onta oleh Abu Lahab pada saat beliau Sholat, mau dibunuh dan sebagainya. Kiranya, manalah mungkin Abu Lahab berani mengacung-acungkan tangan kalau dia orang yang biasa-biasa saja seperti tukang beca, Jufri atau petugas kebersuhan (cleaning service/office boy) yang tak punya pengaruh apa-apa. Tentunya, arogansi muncul karena kedua tangannya punya kekuatan tertentu.
Asbabun Nuzul surat ini adalah ketika Rasulullah berdakwah kepada pemuka-pemuka Qabilah (suku) Quraisy, khususnya di tengah-tengah pihak keluarganya dari Bani (keturunan) Hasyim. Abu Lahab tiba-tiba mengacung-acungkan tangan, menonjok-nonjok sambil mencerca beliau, “Celaka Muhammad…Celaka Muhammad”. Maka turunlah ayat ini sebagai dukungan psikologis dari Allah kepada Rasulullah SAW, bahwa sebenarnya yang celaka adalah Abu Lahab.
Abu Lahab sendiri adalah gelar atau laqob yang biasa digunakan oleh orang-orang Arab. Sehingga nama sebenarnya malah sulit ditemukan karena saking popolernya gelar yang diberikan kepadanya. Misalnya, Abu Jahal yang berarti Bapak Kebodohan adalah gelar bagi Umar Bin Hisyam, selain juga digelar sebagai Abu Hukkam atau Bapak kebijaksanaan, ketika jaya-jayanya dia berkuasa di Makkah saat itu. Padahal Umar Bin Hisyamlah namanya yang sesungguhnya.
Demikian pula Abu Thalib yang berarti Bapak Pelajar, disebabkan ketinggian ilmu dan keluasan wawasan yang dimilikinya saat itu, sehingga dia dikagumi dan disegani sebagai tokoh intelektual di masanya. Begitu pun dengan Abu Hurairah yang berarti Bapak Kucing, karena kebiasaannya memelihara kucing, sehingga rumahnya dipenuhi bayak kucing.
Ayat ini mengandung makna yang umum, artinya bukan hanya Abu Lahab saja yang celaka namun setiap orang yang menghalang-halangi dakwah Islam pasti akan dicelakakan Allah sesuai dengan kaidah Ushul “Al-Ibratu bi umumil lafzhi la bi khusususis Sababi”; artinya, pelajaran diambil dari umumnya lafazh, bukan dari sebab yang khusus (dikarenakan sebab tertentu).
Nah pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa dia (Abu Lahab) diberi gelar sebagai bapak gejolak (gelora). Abu artinya ayah, Lahab artinya gejolak api. Jawabnya tentu tak jauh beda pada masa-masa sekarang ini. Setiap pemimpin kiranya selalu diberi gelar-gelar tertentu. Tak usah jauh-jauh, di negeri Indonesia misalnya, kelima-lima presiden Indonesia memiliki gelarnya masing-masing sesuai dengan pamor, prestasi dan kemapuannya yang menonjol dalam menggagas, mensosialisasikan maupun mencetuskan sesuatu.
Presiden Pertama Ir. Soekarno, diberi gelar dengan Bapak Proklamator, karena dialah bersama Bung Hatta yang telah memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Selain itu Bung Karno juga digelar Bapak Penyambung Lidah Rakyat dan “Singa Podium” karena kemampuannya yang luar biasa dalam menggelorakan semangat rakyat melalui pidato-pidatonya yang berapi-api.
Presiden Kedua Jenderal Berbintang Empat (purn) H. Muhammad Soeharto, diberi gelar Bapak Pembangunan karena kemampuannya dalam menggagas Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada saat ia berkuasa, juga karena kinerja kabinet pembangunannya, serta pembangunan sektor ekonomi yang dilakukannya dinilai telah mampu mengangkat ekonomi negara yang sudah hancur total di masa Presiden Soekarno dengan inflasi yang gila-gilaan.
Selanjutnya Presiden Ketiga Republik Indoenesi, Prof. Ir. Ing. Baharuddin Joesoef Habibie yang digelar Mr. Creek atau Bapak keseimbangan, karena penemuannya yang spektakuler dalam bidang teknologi, yakni menemukan keseimbangan pada sayap pesawat pada cuaca tertentu, sehingga pesawat terbang (plane) dapat tetap terbang dalam keadaan normal; penemua yang tidak saja menjadi sumbangsih kepada masyarakat teknologi dunia, namun juga merupakan putera bangsa yang mempu mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia.
Begitu pula Presiden Abdurrahman Wahid yang populer dengan gelar Bapak Prodem dan Bapak HM, karena jasa-jasanya dalam mengkampanyekan perdamaian dunia dan HAM di Indonesia serta menghidupkan sdemokrasi di Indonesia di saat-saat demokrasi nyaris mati di negara ini.
Dan terakhir, Presiden kelima, Ibu Hajjah Megawati Soekarno Puteri yang digelar ibu Wong Cilik, di saat saat kampaye Pemilu tahun 1999 lalu, dinilai karena berpihaknya kepada masyarakat tertindas saat itu.
Jelasnya, mereka berlima diberi gelar sehebat itu tentu karena mempunyai kekuatan. Terlebih-lebih ketika kekuatan itu menjadi kongkrit yakni, sebuah kekuasaan. Itulah sebabnya ada orang yang diberi julukan Bapak Gejolak Seperti Abu Lahab, karena di masa ia berkuasa, dakwah Islam benar-benar tertindas. Peperangan di mana-mana, memfitnah lebih kejam dari tidak memfitnah sama sekali (sama-sama kejam), permusuhan terjadi di mana-mana.pelanggaran HAM sudah tak kenal peri kemanusiaan lagi. Banyak sahabat-sahabat Nabi yang disiksa dimasanya dengan sangat sadis, baik dengan cara mencincang, menarik anggota tubuh dengan kuda, menyeret orang ditengah-tengah padang pasir. Intinya semua polosok daerah bergejolak. Itulah makanya dia diberi gelar Bapak Gejolak.

3. Ekonomi dan Program Politik
Pada ayat selanjutnya (ayat 2) dinyatakan, “Tiada akan bermanfaat dari padanya hartanya dan apa yang ia usahakan”. Ini menunjukkan bahwa Abu Lahab telah berusaha dengan harta dan program-program yang direncanakan untuk menghancurkan kaum muslimin yang saat itu masih sangat sedikit akibat kekhawatirannya bila Muhammad SAW sewaktu-waktu dapat mengganggu kekuasaannya. Apabila ia mengetahui benar bahwa Muhammad tidak mau berkerjasama dengan pihak pemerintahan Quraisy.
Di negara-negara otokrasi yang dipimpin seorang diktator umumnya selalu menggunakan dua kekuatan dalam mencengkeramkan kekuasaannya. Pertama harta (mal) dan kedua dengan usaha (kasab).
Bicara harta berarti bicara materi. Bicara materi pasti bicara ekonomi. Seangkan bila kita bicara soal usaha, berarti mau tidak mau kita harus bicara tentang badan usaha, program, sasaran (target) dan tujuan serta hasil (output).
Namun inti dari usaha adalah managemen (pengelolaan) dari arti yang menyeluruh secara keseluruhan baik dari segi sitemnya, fungsinya, maupun perangkat-perangkatnya.

4. Neraka
Ayat ketiga surat ini yang berbunyi, “Kami akan melemparkannya ke dalam api yang menyala-nyala”. Menggambarkan sebuah realiti (kenyataan) yang terjadi secara paksa. Di sana ada kata-kata “yashla”. Abu Lahab diriwayatkan gugur dalam peperangan yang ia kobarkan sendiri.
Kata-kata api dalam bentuk “Nakirah” dalam ayat ini dapat merupakan bentuk yang lebih real, berupa kekacauan-kekacauan.
Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW yang amat masyhur dalam menggambarkan rumah tangganya sebagai surganya: “Baiti Jannati” yang artinya, Rumah tanggaku adalah surgaku. Maksudnya, rumah tangga yang harmonis, rukun, damai dan sentausa merupakan wujud surga di dunia ini. Bukan hanya sebatas kiasan. Jadi, tidak ada kata-kata “’adat at-Tamtsil” yang dibuang (mahdzuf) di sana. Karena hadist tersebut berbentuk mubtada’ dan khobar. Dari hadits tersebut billa diambil mafhum mukhalafahnya (pemahaman terbalik) berarti bahwa, rumah tangga yang sering cek-cok, tidak harmonis dan tidak rukun dan damai, merupakan wujud neraka.
Dalam scope yang lebih besar, sebuah organisasi (pehimpunan/jamaah) juga merupakan rumah tangga. Makanya ada Anggaran Rumah Tangganya (ART). Bahkan suatu bangsa atau negarapun adalah sebuah rumah tangga dan dipandang sebagai suatu satu keluarga. Karena ada kepala rumah tangganya, yakni pihak (puak) pemerintahan di tiap tingkatan dari tingkat nasional samapi tingkat lurah/ kepada desa.
Ini artinya bahwa, apabila sebuah negara tidak teratur, rakyatnya tidak pernah merasa aman karena gangguan penjahat di segala bidang dari kelaparan, kekacauan “banyak persekcokan terjadi di mana-mana, itu pun dapat disebut neraka sesuaid dengan pengembangan makna hadits tadi.

5. Pasangan Hidup kepala Negara
Ayat kelima surat al-Lahab berbunyi: “ Dan isterinya adalah pembawa kayu bakar”. Isteri Abu Lahab dikenal dengan gelar Ummu Jamilah (ibu yang cantik) merupakan aktor dibalik layar yang suka menggosok-gosok, menggesek-gesek dan krasak-krusuk terhadap semua persoalan, teruatam lawan-lawan politik suaminya Abu Lahab. Dia juga dikenal sebagai ibu negara yang tukang fitnah, yang menyebabkan masalah semakin besar dengan eskalasi yang semakin meluas.
Memang, sewajarnya bila pendamping seorang kepala negara menjadi begitu penting disebabkan faktor saling mempengaruhi dan interaksi yang terjadi di dalam rumah tangga. Misalnya, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) digagas oleh almarhumah (Allah yarham) Ibu Siti Hartinah yang memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pembangunan ekonomi, bahkan mempengaruhi budaya dan politik ketika itu (orde baru). Itulah makanya, raja-raja di masa dahulu, demi mempersatukan beberapa kerajaan atau kepentingan ekspansi kekuasaan, saling menjodohkan anak mereka.
Oleh karena itu, tidak perlu hairan bila seorang kepala negara yang mempunyai pasangan hidup seorang koruptor dapat memberantas korupsi. Bila pasangan hidupnya seorang pesolek, suka berfoya-foya; tak perlu hairan bila negara tersebut akan menjadi negara penghasil kosmetik. Begitu pun yang lain misalnya, pasangannya seorang pecundang, mafia, pendendam dan sebagainya, sangat jarang dijumpai tidak mempunyai pengaruh terhadap jalannya pemerintahan yang sedang ia pimpin.

6. Belenggu
Sedangkan dalam ayat terkhir surat al-Lahab ditutup dengan pernyataan, “Di lehernya ada tali dari belenggu (neraka)”. Maksudnya, ayat ini merupakan kesimpulan dari keempat ayat sebelumnya, bahwa yang terjadi pada masa kepemimpinan (leadership) seorang semisal Abu Lahab, pasti terbelenggu dalam sebuah ikatan semu, pandangan hidup semu, yang insya Allah dijamin bakal menjadi penyesalan bagi seluruh rakyatnya. Ketika seorang pendamping pemimpin negara telah mengkalungkan di lehernya kalung “ketamakan’ atau semisal lain haus “darah”, lambat laun cepat atau lambat kebanyakan rakyat akan mengikut; mereka pun akan membelenggu dirinya dengan rantai yang terbuat dari neraka. Mereka tidak bisa keluar dari masalah dan senantiasa diliputi masalah, sampai mereka melepas belenggu itu. Artinya, pemimpinnya harus diganti. Perlu dicari seorang pemimpin lain yang berakhlak mulia dan pasangan hidupnya pun berakhlak mulia pula sebagai mana yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW, dengan Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi SAW) Radiallahu Anhunna, Wallahu A’lam Bissowab.

Mengertikah Kita Arti Bersatu?

Oleh: Jufri Bulian Ababil

Bangsa Indonesia, adalah bangsa yang satu. Kita semua sama sepakati hal itu sejak 28 Oktober 1928, melalui Sumpah Pemuda. Umat Islam adalah Umat yang satu, mereka yang menganut agama Islam harus percaya itu, karena Al-Qur'an secara tegas mengatakan hal itu. Firman Allah QS. 2 (al-Baqarah): 213: "Manusia manusia itu satu ummat. Maka Allah mengutus Nabi-Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan kabar takut; dan Allah menurunkan bersama para Nabi itu Kitab suci dengan konsep Kebenaran (hakikat), agar dijadikan hukum sesama manusia terhadap apa saja perselisihan yang ada tentang kitab suci itu. Dan tidak ada perselisihan tentangnya kecuali setelah mereka diberi Kitab suci dan telah muncul penjelasan kepada mereka, mereka pun saling dengki. Maka Allah menunjuki orang-orang yang beriman untuk yang mereka perselisihkan tentangnya dengan izin-Nya. Allah akan menunjuki siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus".

Nah, muncul sejumlah pertanyaan. Bila kita adalah satu bangsa, mengapa tingkat kemiskinan semakin meningkat? Kerusuhan bernuansa SARA dan konflik di beberapa daerah terus terjadi? Kenapa tawuran sesama pelajar, masyarakat terus terjadi? Mengapa konflik internal sesama teman sekantor, seinstansi seoraganisasi, satu partai tidak pernah selesai bahkan semakin tajam?

Demikian pula sebagai umat Islam, ummah wahidah. Bila kita mengaku sebagai ummat yang satu seperti yang diteriak-teriakkan para da'I, para Ustazd dan kaum Mu'allimin di mimbar-mimbar dan majelis majelis. Tetapi, kenapa tetap saja partai politik Islam lebih dari satu? Kenapa tidak ada persatuan para ustadz? Kenapa bila 5 orang ustadz bertemu membahas agama tidak pernah ada kesefahaman? Kenapa komponen sesama komponen umat Islam menuntut saudaranya? Kenapa ada parpol Islam menggugat parpol Islam lain? Dari banyak pertanyaan mengenai bangsa dan umat yang satu itu, muncul sebuah pertanyaan besar. Mengertikah kita arti bersatu?

Konsep Persatuan dan Prakteknya
Sila ketiga Pancasila adalah persatuan Indonesia yang sebenarnya diberi lambang rantai, jelas-jelas menyebutkan, persatuan merupakan salah satu dasar negara RI didirikan. Apa para elit politik sudah lupa? Dalam UUD Dasar 1945 baik yang belum diamandemen maupun yang sudah diamandemen, dari pembukaan sampai batang tubuh juga menggariskan alangkah mahalnya persatuan bangsa. Apa pakar hukum sudah lupa?

Dalam Islam, persatuan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Kalimah Tauhid itu sendiri. Artinya, umat bertauhid adalah umat yang mengaku memiliki hukum yang satu (hukm ullah), atau tidak saja sekedar mengaku ber-Ilah yang satu (tauhid Ubudiyah/Uluhiyah) dan berwala'/berkepemimpinan dalam sebuah kedaulatan saja (Mulkiyah), melainkan juga harus mempraktekkan ummah wahidah dalam satu Tali Buhul Agama Allah.

Mempersatukan ummat adalah Tauhid. Sebaliknya memecah-belah ummat adalah Syirik. Mengajak bersatu memang sulit, apalagi di tengah-tengah kaum yang fanatik dengan golongannya. Padahal, orang-orang yang fanatik faham/golongan adalah ciri kaum yang musyrik, jahiliyah dan fasiq, munafik dan kafir. Firman Allah SWT QS. 30 (ar-Rum): 31-32: "Dengan kembali kepada ajaran fitrah (bertaubat kepada Allah), dan dirikanlah Sholat dan bayarlah zakat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mensekutukan Allah (musyrik). Yaitu, orang-orang yang memecah belah agama mereka lantas mereka menjadi berkelompok-kelompok, tiap-tiap golongan merasa bangga (hebat/lebih) dengan apa yang ada pada mereka".

Munculnya perpecahan berawal dari perbedaan faham, berbeda pandangan, berbeda fikiran, berbeda visi dan tujuan. Masing-masing perbedaan ini apabila dicampurkan dengan kesombongan dan kedengkian, ego dan merasa benar. Maka muncullah perselisihan. Sebenarnya perselisihan dapat dirembuk melalui memohon maaf dan menunjukkan iktikad baik memperbaiki. Tetapi, bila perselisihan justeru diisi dengan rasa gengsi dan sikap cuek menganggap "semuanya pasti beres" atau "entar lu ya?", maka tak bisa dihindarkan lagi, muncullah sikap permusuhan dan rasa dendam. Lambat laun konflik pasti terjadi. Konflik, bila tidak diredam dengan keadilan sikap orang yang mengangkat dirinya sebagai penengah, akan memunculkan konflik yang baru; dan akan semakin meluas bila terjadi saling bela dan dicampuri pihak-pihak lain yang memihak. Konflik akan memunculkan luka lama dan parah. Kelukaan sosial akan membunuh persatuan.

Konsep yang baru dikemukankan tadi tak ada apa-apanya, karena negara kita kalau soal membuat konsep termasuk paling jago. Sekali buat ketetapan MPR, ratusan miliyar Kas negara terkuras, sekali mengesahkan UU, puluhan milyar leong, sekali buat perda, ratusan juga lenyap, nyap nyap. Namun dalam prakteknya, hukum-hukum dan segala aturan yang telah dibuat seperti diakui banyak pihak, NOL besar lagi menyedihkan. Selain, penafsirannya beda-beda, banyak yang kontadiktif, setengah jadi, juga banyak yang tidak berpihak kepada rakyat kecil (malah berpihak ke kapitalis, borjuis dan menguntungkan koruptor dan pencuri berdasi).

Faktor Penghambat Persatuan
a.Pemimpin Jahat (Thagut).
Pemimpin Jahat merupakan tipe pemimpin yang memecah belah rakyatnya demi melanggengkan kekuasaannya. Pemimpin seperti ini, adalah faktor penghambat persatuan bangsa dan umat. Tak peduli harus dengan cara menindas, menangkapi aktifis, menculik/ membunuh lawan politiknya, melakukan politik belah bambu maupun mengkambinghitamkan suatu kelompok demi menaikkan pamornya. Pemimpin ini, tak akan dapat memperbaiki bangsa Indonesia dan umat Islam, karena selain merusak sumber daya manusia, pemimpin seperti ini juga merusak sumber daya alam seperti Fir'aun. Firman Allah QS. 28 al-Qashash: 24: "Sesungguhnya Fir'aun adalah (pemimpin yang) sewenang-wenang di muka bumi dan memecah belah rakyatnya dengan menindas sekelompok dari mereka (dan memanjakan sekelompok yang lain). Dia membunuh genesrasi-generasi (pemuda) mereka dan menghidupkan anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang membuat kerusakan".

b.Ulama Jahat/ Cendikiawan Sesat.
Ulama jahat atau cendikiawan sesat adalah orang-orang yang mengakui dirinya sebagi ulama atau dianggap cendikiawan oleh sebagian umat Islam. Tetapi sebenarnya, banyak ide-idenya yang menyimpang dari ajaran Tuhan. Namun anehnya, Rakyat yang memang banyak jadi korban pembodohan (baik melalui sistem maupun kurikulum pendidikannya) justru lebih mengikuti kata-kata ulama atau cendikiawan seperti ini ketimbang Tuhan. Haram kata Tuhan halal katanya (demi kepentingan uang, kekuasaan atau kepentingan gengsi). Haram kata Tuhan, malah ia ikut membubuhkan tanda tangan melegalisasi maksiat. Orang yang mengikuti mereka ini adalah orang Musyrik, karena mereka telah mempertuhankan manusia. Orang musrik tidak akan dapat bersatu, karena mereka akan lebih cenderung tunduk kepada tuhan masing masing. Firman Allah 9 (at-Taubah): 31: "Mereka menjadikan alim ulama (pendeta dsb) dan kaum tokoh spritual (seperti rahib, syaikh dsb) menjadi Tuhan (Rabb) selain Allah (mereka juga menjadikan) Isa putera Maryam (sebagai tuhan). Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali hanya mengabdikan diri kepada sembahan (Ilah: sasaran ketaatan) yang satu saja. Tidak ada Sembahan selain Dia. Maha Suci Dia dari apa-apa yang mereka sekutukan".

c. Sistem Jelek (Jahiliyah)
Bila sebotol minyak wangi atau permata dimasukkan ke dalam tong sampah. Pasti dipukulratakan sebutannya, sama-sama sampah, walaupun dari jenis berbeda tetapi dimasukkan pada wadah yang sama. Begitu pula, seorang mengaku muslim apabila lebih memilih tinggal di daerah kafir (darul bawar/Kuffar: sekuler, komunis, paganis) dan tidak mau pindah ke darul Islam (daerah/komunitas Islam) padahal dia mampu, maka dia termasuk golongan mereka. Firman Allah QS. 16 (an-Nahl):28: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menukar nikmat Allah (Keimanan dan keislaman) dengan kekafiran dan menggiring bangsa mereka ke kampung (sistem) kebinasaan (darul bawar)?"

d. Fanatik Golongan/ Faham
Mereka, adalah orang-orang yang kaum konservatif tradisional yang masih mengikuti ajaran-ajaran nenek moyang, ajaran (isme-isme) tokoh "tempoe doeloe" yang bertentangan dengan Islam atau tidak ada dalam Islam. Mereka ini kaum yang tidak mengerti tentang adat dan budaya, tetapi sok beradat dan berbudaya. Kendati demikian, sebagian kaum Konservatif tradional yang lain yang tunduk kepada ajaran Islam tidak termasuk kategori ini. Pernyataan ini bukan berarti pembenaran terhadap kaum pembaharu. Justeru tidak sedikit kaum pembaharu yang dinilai "kurang tepat" mengartikulasikan konsep Islam dengan semangat modernismenya, sehingga sesat dan menyesatkan. Firman Allah QS. 2 (al-Baqarah): 170: "Apabila dikatakan kepada mereka, marilah kepada ajaran-ajaran (ayat) yang diturunkan Allah. Malah mereka mengatakan, "Kami hanya akan tetap mengikuti apa yang telah dipusakakan oleh nenek moyang kami", walaupun pun nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa pun, dan tidak mendapat petunjuk".

Untuk Dapat Dimengerti…Persatuan dimulai dari penyatuan fikiran, penyatuan visi, misi, saling berbesar hati dan terbuka menerima kelebihan orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri. Dan yang terpenting, untuk dapat bersatu, maka yang pertama dan yang paling utama dilakukan adalah mencari pengertian tentang bersatu itu sendiri. Tauhid pun seperti itu, untuk mewujudkan ummah wahidah, perlu kita mengerti dulu, ummat yang satu itu seperti apa? Untuk dapat dimengerti, berikut ini disebutkan tahapan menuju persatuan Umat Islam bangsa Indonesia, yakni:

1.Satu Pengertian
Untuk dapat bersatu, perlu ada satu pengetian, satu persepsi, satu penafsiran dan satu pemahaman bail tentang pokok-pokok isi kandungan al-Qur'an, satu pengertian siapa kawan dan dan Lawan dan satu pengertian pula tentang misi dan tujuan. Bila terdapat perbedaan jangan dipertajam. Bila ada persamaan teruslah dipupuk. Firman Allah: QS 3 (Ali Imran): 64: "Hai pakar konsep agama (ahli Kitab) marilah kepada satu Kalimah yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak akan mengabdikan diri selain hanya kepada Allah dan kita tidak menyaingiNya dengan sesuatu apapun; dan tidak akan memilih sesama kita sebagai tuhan-tuhan (Rabb) selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: "Saksikan kamulah, sesungguhnya kamilah orang-orang yang menyerahkan diri (mencari jalan selamat)".

2.Satu hati
Tidak selamanya dalam menyelesaikan persoalan uang, logika pergerakan, pedang atau kekuasaan yang bicara. Tak jarang, perselisihan dapat terpecahkan melalui bicara hati ke hati. Sebab, bila hati telah menyatu, tidak ada akan lagi saling curiga. Salah sedikit, tak mengapa. Malah justru, lebih mempererat hubungan. Firman Allah: QS. 3 (Ali Imran) : 151: "Kami akan menyusupkan ke dalam hati orang-orang kafir itu rasa takut (cemas dan ragu), karena mereka telah mensekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak punya kemampuan. Tempat mereka Jahannam, sebagai tempat paling buruk bagi orang-orang yang zalim"; QS. 3: 102: "Berpegang teguhlah kamu pada tali (ikatan) Allah (Islam) dan jangan berpecah-belah; dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu di saat kamu dulu bermusuh-musuhan maka Allah menjinakkan hati kamu, sehingga jadilah kamu ummat yang bersaudara…"

3.Satu Barisan
Pemimpin Umat Islam (ulil Amri) adalah satu, dan wajib berbai'atnya dan haram durhaka kepadanya. Agar umat Islam dapat terkomandoi dalam satu ketaatan. Tanpa pemimpin Umat Islam akan lemah dan terpecah belah. Bila ulil Amri belum ada, maka wajib bagi umat Islam untuk tetap mencetak kader-kader umat sampai Allah mengkaruniakan kepada umat Islam pemimpin dari sisi-Nya. Secara Firman Allah QS. 61 (as-Shaff): 4: "Sesunguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan ang kokon seolah-olah mereka itu bangunan yang teramat kokoh". Wallahu A'lam.

Monday 6 August 2007

Proses dan Keutamaan Mukmin Sejati

Oleh: Jufri Bulian Ababil

LANDASAN WAHYU
Dalam pandangan Islam, keimanan merupakan masalah yang fundamental yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Seorang manusia tidak akan masuk kedalam siksa neraka Allah selama-lamanya apabila terdapat sebiji zarrah keimanan dalam dadanya.

Iman itu bagaikan akar bagi sebuah pohon, di mana ia memiliki fungsi sebagai penopang tegaknya batang dan cabang. Semakin baik kualitas akarnya, maka akan semakin terjaminlah kekuatan pohon itu. Selain itu juga akar memiliki fungsi-fungsi lain, yakni sebagai penyerap unsur-unsur hara dan fungsi lainnya.

Secara bahasa iman berarti percaya. Dalam bahasa Inggeris penyesuaan kata Iman berbeda dengan kata Trust, melainkan relatif lebih sepadan dengan believement. Dalam lidah Arab, kata yang menunjukkan arti yakin juga ada beberapa lafazh, seperti Yaqien, al-Iman dan Qaniet. Iman itu ada yang sejati, ada pula yang palsu. Iman yang sejati ini, adalah iman yang senantiasa berproses menuju kepada penyempurnaannya. Sedangkan iman yang bercampur dengan kekufuran, syirik dan nifaq adalah kualitas iman orang-orang yang menganggap diri mereka sudah bersih, menganggap diri lebih dari yang lain, dan banyak lagi keadaan-keadaan yang menjerumuskan orang kepada pemalsuan iman, banyak juga sifat-sifat yang menjadi ciri-ciri manusia yang beriman, tetapi imannya bercampur dengan sesuatu yang membuatnya celaka.

Firman Allah QS. 8:2-4:


"Orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apa bila disebut Asma Allah bergetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatnya bertambah iman mereka; dan kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Mereka orang-orang yang menegakkan Sholat dan dari sebahagian harta mereka, mereka nafkahkan. Mereka itulah orang-orang mukmin sejati. Bagi mereka derajat-derajat yang tinggi di sisi Tuhan mereka dan mendapatkan ampunan dan rezeki yang mulia.

Sabda Nabi SAW: "Sesungguhnya iman itu adalah membenarkan dengan hati mengikrarkan dengan lidah dan melaksanakan dengan anggota tubuh (perbuatan)".

PROSES MUKMIN SEJATI
Mukmin sejati memiliki ciri-ciri kesejatian hati. Sebab di hatilah iman itu bersemaian. Untuk mencapai kesejatian hati itu, seorang yang mengaku muslim harus selalu menimbulkan stimulus-stimulus untuk menggetarkan hatinya. Stimulus itu adalah zikir kepada Allah, dengan banyak-banyak mengingat keagunganNya, keesaanNya dan KemahakuasaanNya. Selain itu, perlu juga banyak-banyak menyebut Asma Allah baik di dalam hatinya (sirr) maupun secara lafzhi dengan lidah. Dengan demikian, diharapkan akan timbul getaran-getaran kecil. Bila getaran-getaran kecil ini mulai tumbuha, maka secara otomatis tenaga gerak akan muncul. Getaran yang secara berkesinambungan akan melahirkan energi gerak. Inilah yang disebut dengan gerak hati. Itulah makanya orang yang banyak mengingat Allah adalah orang yang semangat hidupnya tinggi, energik dan survive serta memiliki daya tahan tinggi.

Pergeseran Nilai (Energi)
Proses getaran-getaran hati, secara otomatis memunculkan kecendrungan-kecendrungan untuk selalu tertarik kepada hal-hal yang mendekatkannya kepada Allah. Ini berarti getaran-getaran yang muncul dari zikir mempunyai daya geser sedikit demi sedikit. Daya geser itu semakin mendekat ke satu titik. Pergeseran inilah yang disebut dengan taqarrub ilallah atau pendekatan diri kepada Allah SWT.

Pergerakan (Percepatan)
Untuk mempercepat gerak yang disebut taqarrub itu, perlu daya picu, motivasi atau daya dorong yang terus menerus, sehingga diharapkan pergeseran nilai dari satu titik pengenalan kepada titik mahabbah tidak tersendat-sendat karena banyaknya pengaruh-pengaruh hawa nafsu dan setan yang coba memutar arah proses tadi ke arah yang semakin jauh dari Allah.
Oleh karenanya, perlu bagi seorang mukmin untuk menambah keimananya dengan banyak mendengar ayat-ayat Allah dengan cara mencari majelis-majelis ilmu, duduk dan berdiskusi dengan para ulama, mujahid dakwah, melakukan sharing informasi dan hal-hal yang berhubungan dengan mendengar nasehat-nasehat sesama saudara seiman dan seaqidah.

Bila daya picu dan percepatan ini terjadi dalam diri seorang mukmin, maka ia sedang memasuki sebuah tahapan yang disebut dengan "hijrah", atau perpindahan total (moved). Yang dimaksud pindah total di sisi adalah seorang mukmin telah melewati titik batas tertentu yang memiliki kemungkinan yang sama yang membuatnya lebih dengan kepada Allah ketimbang Thagut, bentuk penghambaan atau penuhanan lainnya. Seperti sebuah titik nol, bergeser setapak ke depan mendapat nilai 1, bergeser spoin ke belakang mendapat nilai -1.

Perjuangan (Usaha)
Selanjutnya, yang merupakan ciri mukin sejati itu bila mana telah memasuki tahap pindah total ini adalah tahap jihad. Jihad adalah usaha yang dihasilkan dari energi dan percepatan. Semakin besar energi dan percepatan yang diberikan, maka akan semakin besar pula kekuatan usaha.
Secara umum, jihad diterjemahkan kepada arti berperang. Namun, pemaknaan ini dipandang terlalu khusus. Padahal, kendati memang dapat diartikan demikian, makna yang lebih sesuai sebenarnya adalah berjuang dan bersungguh-sungguh.

Pemaknaan terhadap usaha ini hampir sama atau malah bisa disamakan dengan kata ikhtiyar (usaha/ memilih), karena pada ujung usaha, seseorang dituntut agar bisa mengambil pilihan dan keputusan.

Unsur-unsur yang terkandung dalam jihad itu sendiri ada dua hal. Pertama, mengerahkan segenap kemampuan yang ada di diri dan semua persiapan materi, dalam rangka mencapai keberuntungan. Kedua, menyerahkan apa pun keputusannya kepada Allah dan Ridho terhadapa taqdir yang ditetapkan terhadap output dari proses yang dijalankan.

Puncak tertinggi dari usaha dan jihad adalah tawakkal. Dengan kata lain, tawakkal merupakan upaya terakhir, kemampuan dan jalan terakhir yang harus diambil dalam rangka menyelesaikan sebuah persoalan atau urusan. Hal ini merupakan batas seorang muslim untuk diizinkan mengambil keputusan dan pilihan.

Seorang tidak dapat dikatakan bertawakkal sebelum ia benar-benar berjihad atau secara sungguh-sungguh melakukan sesuatu. Begitu pun, seorang tidak bisa dikatakan berjihad kalau ia tidak sampai pada puncak ikhtiarnya menyelesaikan atau menangani suaru urusan atau persoalan.

Itulah sebabnya, surah Al-Anfal ayat 2 ini menjelaskan secara bertahap bagaimana seorang muslim berproses menjadi seorang mukmin sejati.
Adapun tiga input atau jalan yang harus dilalui adalah, Zikrullah (mengingat Allah), Tasmi' 'alat Tilawah (mendengar ayat Allah) dan tawakkal.

Sedangkan proses yang akan dilalui dengan melalui ketiga strategi itu yakni, getaran (daya gerak) yang memunculkan daya geser (taqarrub); selanjutnya terjadilah usaha yang memunculkan daya picu (jihad).

Penegasan ketiga makna tersirat ini (Iman Hijrah dan Jihad) kemudian dipaparkan Allah ayat-ayat terakhir di penghujung Surah Al-Anfal ini, seperti yang dapat kita temukan pada ayat 72,74 dan 75.


Firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dan orang-orang yang menyediakan pertolongan. Mereka itulah orang-orang mukmin sejati; bagi mereka ampunan dan rezeki dan mulia" (QS. 8: 74).


KEUTAMAAN MUKMIN SEJATI
Orang-orang yang sejati imannya dijanjikan Allah dengan tiga ganjaran, tiga keutamaan dan nilai plus.

Ketiga nilai plus itu yakni, ketinggian derajat dalam pandangan Allah, ampunan dan rezeki yang mulia. Namun, tiga keutamaan ini tidak diperoleh sekaligus, melainkan hanya didapatkan dalam proses perjalanan mencapai kesejatian tadi.

Iman, Hijrah dan jihad yang merupakan inti persoalan dari surah Al-Anfal (rampasan perang) itu merupakan balasan yang diberikan Allah secara bertahap menurut sejauh mana proses yang telah dilalui.

Pada proses awal saat seorang abid tergetar hatinya ketika mengingat Allah, pada saat itu pula secara bertahap derajatnya meningkat pada ketinggian tertentu dalam pandangan Allah. Harkat, martabat dan nilai jiwa seorang manusia semakin tinggi dan berharga hanya dapat meningkat dan semakin meninggi berbanding lurus dengan tingkat kekuatan getar, kehebatan energi yang dimunculkan dalam jiwanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Inilah keutamaan pertama yang diberikan Allah.

Keutamaan kedua, yaitu maghfirah atau keampunan. Keampunan ini merupakan bukti pendekatan diri seorang mukmin kepada Allah. Dengan pendekatan yang benar kepada Allah, semakin jauhlah ia dari dosa dan maksiat. Artinya, semakin dekatlah pula ia kepada Allah. Dengan semakin dekat kepada Allah berarti semakin besarlah pengawasan Allah kepadanya, kian hebat pula perlindungan Allah untuk membentengi dirinya dari dosa. Sehingga dosa-dosa yang pernah dibuatnya tenggelam dan tertutupi dengan kebaikan-kebaikannya. Inilah yang dimaksud dengan memperoleh pengampunan dalam proses. Jelaslah, proses menuju jihad dapat mengampunkan dosa-dosa. Tanpa hijrah dan jihad, kemungkinan orang untuk berbuat dosa sangat besar, sedangkan Allah tidak mengampuni orang yang selalu berulang-ulang melakukan kesalahan yang sama.

Selanjutnya, keutamaan ketiga adalah buah usaha dan tawakkal, yaitu rezeki dan mulia. Hal ini berkaitan erat dengan takdir Allah yang sering banyak disalahartikan.
Dalam suatu riwayat, seorang sahabat pernah menanyakan pengertian Tawakkal kepada Nabi Muhammad SAW, ketika beliau bertemu. Dikatakannya, "Ya Rasulullah. Aku mempunyai seekor unta. Apakah ketika aku sholat lalu aku meninggalkannya tanpa ditambat, apakah aku disebut bertawakkal?". Rasulullah SAW bersabda: "Tambatlah untamu, maka engkau telah bertawakkal".

Dari riwayat itu, jelas nilai dari tawakkal adalah usaha atau ikhtiar. Hal ini mengandung makna, seseorang tidak boleh menggantungkan dirinya pada nasib sebelum ia benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya.

Rezeki memang dari Allah. Namun Allah tidak akan memberikan rezeki itu secara mulia, selain dengan cara dengan gigih berusaha mencarinya, yakni dengan cara sungguh-sungguh ikhtiyar. Mengenai hasilnya, barulah diserahkan kepada Allah dan dituntut pula bagi kita untuk menerimanya dengan Qana'ah.

Jadi, jelaslah semakin besar usaha, maka semakin besar tawakkal dan semakin besar mulia pula rezeki yang akan Allah berikan. Namun antara keutamaan dan ciri mukmin sejati ini, Allah SWT memperantarainya dengan sebuah ayat "Mereka mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian hartanya".

Betapa tinggi dan luhurnya ajaran Allah itu. Walaupun kita diperintahkan untuk memproses diri untuk mencapai keutamaan-keutamaan yang tak ternilai harganya, namun Allah mengingatkan agar seorang yang mencari iman sejati jangan lupa menegakkan sholat dan menafqahkan sebagian hartanya. Ini ciri mukin sejati.

Friday 27 July 2007

Setelah Membumikan, Perlu Memanusiakan Al-Qur’an

Di seluruh pelosok dunia, baik yang mengaku Islam bahkan orang yang di luar Islam sekalipun, tahu bahwa al-Qur’an itu kitab sucinya kaum Muslimin. Sesuci apakah al-Qur’an itu? Dan apa yang menjadi tolak ukur bagi kesucian al-Qur’an?

Al-Qur’an, Manusia dan Bumi
Bagi umat Islam sendiri sebagaimana yang dikenal luas al-Qur’an itu umumnya difahami secara etimologis seperti “bacaan” seseaui dengan arti harfiyah nya berasal dari kata Qara’a yang berarti “membaca”.
Sedangkan signifikansi al-Qur’an secara epistimologis, al-Qur’an dinyatakan sebagai wahyu Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Berbeda dengan seluruh isi alam semesta di segala penjuru –termasuk diri manusia- yang juga merupakan sebagian dari ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang dapat dikenal melalui tanda-tanda tertentu, sifat-sifat tertentu dan ukuran-ukuran tertentu; al-Qur’an memiliki bentuk lain dan cara tersendiri dalam membaca dan memahaminya, karena al-Qur’an berbentuk ayat yang berhuruf dan berlafazh, yang harus dieja dan dimushafkan (dicetak dan ditulis) serta harus ditransfer dengan perantaraan Qalam (pena) agar dapat dibaca.
Selain sebagai wahyu yang diturunkan memalui perantara malaikat jibriel, al-Qur’an juga dikenal sebagai kalam Allah yang dinuzulkan secara bertahap dan Mutawatir (tersosialisasi di tiap komunitas dan generasi), utnuk disampaikan kepda seluruh manusia di segala bangsa di sepanjang masa agar mansia membaca menghafal, mempedomani dan mengajarkannya –sebagai bagian dari ibadah- sehingga tercipta kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat.
Adapun mansuia sebagai makhluk yang paling mulia dibanding makhluk-lamkhluk lain yang ada di bumi, diciptakan untuk merealisasikan rencana besar Allah sehingga manusi diberi akal agar mampu menjadi perpanjangan tangan dalam menitipkan amanah untuk mengolah dan melakukan perubahan-perubahan di muka bumi khususnya dan alam semesta umumnya.
Untuk lebih jealsnya ada tiga komponen yang menajdi dasar perubahan yang diciptakan Allah yang saling membutuhkan. Apabila salah satu dari tiga komponen ini tidak menjalankan kedudukan dan fungsinya secara baik, maka tidak akan ada produksi atau terhambatlah perubahan. Ketiga komponen itu adalah institusi, konstitusi dan eksekutif.

Institusi (Wadah, tempat, Lembaga)
Sebelum Allah menciptakan manusia, Allah terlebih dahulu menciptakan bumi sebagai tempat tinggal manusia. Allah juga mempersiapkan berbagai perangkat keras dan lunak dalam pemenuhan kebutuhan manusia di bumi. Artinya, bumi diciptakan Allah sebagai institusi. Apabila kita membagi-bagi bumi itu, maka kita akan menemukan beberapa benua yang terdiri dari daratan dan lautan,selanjutnya bila bibagi-bagi lagi, kita akan menemukan negara-negara dengan berbagai bangsa. Lantas kalau dibagi lagi akan ditemukan berbagai wilayah setingakty propinsi yang terdiri dari berbagai suku dan kebiasaan. Sampai pembagian itu menjadi institusi yang pakling sederhana, yakni sebuah keluarga, bahkan diri kitapun merupakan institusi bagi jiwa dan karakter juga termasuk nyawa dan ruh, yang terdiri dari organ-organ yang beragam fungsi dan kutamaannya. Firman Allah:

“Yang menjadikan bagimu bumi sebagai tenpat (melaksanakan ) hidayah (al-Qur’an)” (QS. 20:53).

Konstitusi (Aturan/hukum)
Allah menjadikan al_qur’an itu bukan hanya sebagai sumber hukum alternatif, tetapi justeru harus sebagai hukum yang utama. Dan ini merupakan tolak ukur keimanan. Orang dikatakan berimana kepada al-q\Qur’an bilamana ia memiliki kesadaran hakiki, bahwa tidak ada aturan yang dapat menjadikan bumi ini aman damaidan sejahtera selain dari aturan Allah, tidak ada rasa apatisme, sketisme, apalagi phobisme. Bila tidak keimanannya disangsikan.

Firman Allah:
“Maka tidak. Demi Tuhan (Pengatur/ Pendidikmu) mereka sebenarnya tidak beriman, sampai mereka menjadikanmu (Rasulullah SAW) sebagai hakim dalam perselisihan yang terjadi di antara sesama merejka, kemusian mereka tidak merasa berat dalam diri mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerimanya dengan tunduk dan patuh.” (QS. An-Nisa’ (4) :65)


Eksekutif (Pelaksana)
Al-Qur’an tanpa manusia adalah seperti wacana tanpa ada pelaksana atau seperti organisasi, perusahaan dan persayarikatan yang lengkap dengan AD/ART (anggran dasar/Anggran Rumah tangga), ada kantornya tetapi tidak punya anggota yang menjalankannya.

Demikian juga Islam, walaupun Islam itu sudah menyebar ke mana-mana, al-Qur’an dan hadits sebagai perangkat syariat juga telah komplit dan sempurna, bila tidak ada manusia yangmenjadikannya hukum yang mngetur masayarakat, jelas tidak akan terjadi perubahan apapun. Orang pada sibuk berdebat tentang baca basmalah zahar atau tidak, baca Qunut pada sholat subuh apa tidak, toh mungkin sebagaian yang bersitegang utar leher sama-sama tidak sholat. Orang yang kasak-kusuk membahas fiqih, bahas sifat Allah, bahas ini apa hukumnya dan sebgainya mungkin sebagian pembahas tidak tak tahu mau ditaruh di mana fiqih itu, bagaimana sifat Allah itu bisa disyahadahkan (disaksikan).

Tentunya, bila sebagian kita berupaya menegakkan hukum Allah dalam kehidupan nyata, tentu kita akan menyaksikan bagaimana Allah mengatur kehidupan, betapa Maha Kuasanya dan Perkasanya Dia, Maha Esanya Dia. Jelasnya, manusia perlu al-Qur’an untuk memanajemen alam, dan selanjutnya bumi juga dibutuhkan oleh mansuia sebagai tempat al-Qur’an dibumikan. Firman Allah: (QS.55 (ar-Rahman) :1-4 dan 10).

“Maha Pengasih. Dia mengajarkan Al-qur’an. Dan Dia menciptakan manusia. Lalu Dia mengajarkannya penjelasan/ bayan (sunnah rasul)…Dan bumi, penempatannya (peletakannya) bagi makhluk”.

Keterkaitan Ilmu, Hidayah dan Aqal

Oleh: Jufri Bulian Ababil

(12 Rajab (7) 1428 H/27Juli 2007 M

Dari tiga ayat yang berurutan ini kita lihat pada masing-masing ujung ayat disebutkan kata ya’lamun, yang seakar kata dengan ilmu. Kemudian yahtadun yang seakar kata dengan hidayah, dan kata ya’qilun, yang seakar kata dengan ‘aqal.

Dalam terma al-Qur’an, secara umum, inti persoalan selalu diletakkan di penghujung ayat dan di penghujung surat. Sehingga dapat dikatakan, memahami Islam dibutuhkan tiga sarana yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Apabila salah satu ditinggalkan atau diabaikan maka timpanglah Islam itu, bahkan malah akan menjadi kontraproduktif terhadap tujuan dan misi Islam itu sendiri. Tiga sarana itu adalah ilmu, hidayah dan akal.

Umumnya diketahui oleh umat Islam, Dienul Islam merupakan ajaran yang sesuai dengan akal. Sehingga Islam tidak berlaku bagi orang tidak berakal. Islam tidak dibebankan bagi manusia yang belum sempurna akalnya, misalnya anak-anak.

Namun, untuk menuntun akal diperlukan hidayah. Hidayah berarti petunjuk, petunjuk Allah ke shirathal mustaqiem, jalan yang lurus, yakni jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, jalan para Nabi, Syuhada, orang-orang yang shiddiq (benar imannya) dan jalan hamba-hamba Allah yang sholeh.

Hidayah merupakan salah satu kebutuhan seorang manusia dalam menjalani hidupnya. Meski pun manusia dikarunai akal, namun tidak menjaminnya dapat menjangkau kebenaran yang sejati tanpa dibimbing wahyu dari Allah. Inilah yang melatarbelakangi kenapa Allah menurunkan kitab-kitab suci Nya. Kemampuan akal manusia masih pada sebatas pengalaman yang pernah ia lihat, ia dengar dan ia rasakan. Akal manusia tidak akan mampu menganalisa atau memahami hal-hal yang di luar jangkauan panca inderanya, sehingga ia membutuhkan bimbingan dari Yang Menciptakan dirinya tentang hal-hal yang tidak diketahuinya dan dialaminya.

Apa yang hari ini benar dalam ukuran kita belum tentu benar menurut kita besok. Atau apa yang benar menurut orang hari ini, belum tentu benar menurut orang di masa lalu. Bahkan seringkali kebenaran itu dipersempit oleh batas-batas kebiasaan dan pelembagaan (seperti kekuasaan, organisasi dan madzhab dan lain-lain).

Di kalangan umat Islam bangsa Indonesia, ini banyak terjadi, namun sayangnya difahami sebagai ikhtilaf yang dirahmati. Sehingga, berpecah belah dianggap bersatu, bermusuhan dianggap bersaudara, tertindas dianggap mulia. Sungguh benar apa yang diungkapkan Allah dalam Al-Qur’an mengenai manusia-manusia yang buta, pekak dan mati rasa.

Ibarat berjalan, hidayah adalah rambu-rambu, nama-nama jalan, peta atau hal-hal yang berhubungan dengan petunjuk, guidance (pemandu) dan pengarahan (direction). Dan orang yang tersesat adalah orang yang kebingungan dalam menentukan arah tujuannya. Terkadang, peristiwa tersesat dalam sebuah perjalanan membuat orang berhenti karena kebingungannya, tetapi ada juga orang yang tetap terus berjalan dalam kesesatannya, walaupun dia terus berputar-putar tak tahu arah. Terkadang, bertanya menjadi salah satu sarana untuk mendapatkan petunjuk, tetapi tak jarang bertanya tidak mampu membuat orang keluar dari kesesatan, malah semakin tersesat. Masalahnya jelas karena orang yang tersesat itu salah dalam mencari petunjuk atau salah dalam menafsirkan petunjuk yang benar.

Sama halnya banyak orang yang salah dalam memahami pesan-pesan yang terkandung dalam rambu-rambu lalu lintas walaupun ia memperhatikannya, banyak juga orang yang sulit membaca peta, sulit memahami lambang-lambang, simbol-simbol atau bahkan sama sekali buta huruf.

Jadi, untuk mendapatkan petunjuk yang benar harus tahu pesan yang disampaikan sebuah petunjuk, harus faham maksud dibuatnya rambu-rambu, makna yang terkandung dalam simbol-simbol. Begitulah. Untuk mendapatkan hidayah, diperlukan ilmu. Itulah sebabnya Nabi SAW sangat menekankan pentingnya ilmu. Kita bisa fahami kewajiban yang terpenting dari yang penting dari hadis-hadis berikut:

„Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap seorang muslim dan muslimat“
„Siapa yang mau dunia, ia perlu ilmu; siapa yang mau akherat, ia perlu ilmu; dan, siapa yang mau dua-dua, ia perlu ilmu.“

Bahkan oleh bagi sebagian orang ilmu malah disamakan dengan dengan hidayah itu sendiri. Sehingga sangat popular kita dengan pepatah Arab yang menyebutkan,
“Ilmu itu seperti cahaya, dalam menunjuki.

Dalam al-Quran, hidayah dan kata yang seakar dengannya mengandung makna petunjuk pada beberapa hal, yaitu: Nama lain dari al-Quran, petunjuk dalam memilih Islam, petunjuk dalam memahami Islam, petunjuk dalam melaksanakan Islam. Intinya, setiap saat kita membutuhkan petunjuk Allah.

Khusus yang berkaitan dengan al-Qur’an, selain nama lain dari al-Qur’an kata hidayah juga memberikan pemahaman, hidayah merupakan salah satu fungsi dari al-Qur’an, fungsi yang terdiri dari petunjuk pemahaman dan petunjuk pelaksanaan dalam hal pelaksanaan isinya.
Selain itu, dalam hal kualitas manusia penerimanya, hidayah juga terbagi menjadi dua, yakni pertama petunjuk umum berupa nilai-nilai kebenaran yang universal, ilmu pengetahuan, konsep-konsep hukum dan muamalah.

Kedua, kedua petunjuk-petunjuk teknis berupa strategi-strategi perang melawan musuh-musuh Islam, rahasia Islam yang paling urgen mengenai hidup sesudah mati, kebangkitan, yang semuanya justru selalu diungkap dalam bentuk-bentuk kiasan melalui bahasa alam, bahasa sejarah umat di masa lalu dan bahasa-bahasa yang memiliki pemahaman ganda. Khusus dalam pengungkapan hidayah pada bentuk yang kedua ini dimaksudkan agar menjaga Islam dan memisahkan manusia yang masih jauh hatinya untuk mengingat Allah dari orang-orang mukmin yang hatinya tunduk pada hokum-hukum Allah.

Wajar bila kita menyaksikan banyak sekali pertentangan di kalangan umat Islam dalam memahami al-Qur’an. Wajar pula bila hukum-hukum Islam justru ditentang oleh sebagian orang yang mengaku Islam (tetapi telah diracuni hatinya), khususnya orang-orang yang kelihatannya seperti pemimpin umat Islam (al-qur’an menyebutnya dengan kata malail qaum) tetapi menolak bahkan cenderung menghalang-halangi ajaran Islam dilaksanakan secara kaffah oleh sebagian orang Islam, bahkan anehnya ada pula yang membela mati-matian hokum dan ajaran yang lahir dari hawa nafsu (kepentingan/ kemauan seseorang) dan ahwaa qaum (kepentingan atau kemauan kelompok/ golongan). Wallahu A’lam. **