Friday 27 July 2007

Setelah Membumikan, Perlu Memanusiakan Al-Qur’an

Di seluruh pelosok dunia, baik yang mengaku Islam bahkan orang yang di luar Islam sekalipun, tahu bahwa al-Qur’an itu kitab sucinya kaum Muslimin. Sesuci apakah al-Qur’an itu? Dan apa yang menjadi tolak ukur bagi kesucian al-Qur’an?

Al-Qur’an, Manusia dan Bumi
Bagi umat Islam sendiri sebagaimana yang dikenal luas al-Qur’an itu umumnya difahami secara etimologis seperti “bacaan” seseaui dengan arti harfiyah nya berasal dari kata Qara’a yang berarti “membaca”.
Sedangkan signifikansi al-Qur’an secara epistimologis, al-Qur’an dinyatakan sebagai wahyu Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Berbeda dengan seluruh isi alam semesta di segala penjuru –termasuk diri manusia- yang juga merupakan sebagian dari ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang dapat dikenal melalui tanda-tanda tertentu, sifat-sifat tertentu dan ukuran-ukuran tertentu; al-Qur’an memiliki bentuk lain dan cara tersendiri dalam membaca dan memahaminya, karena al-Qur’an berbentuk ayat yang berhuruf dan berlafazh, yang harus dieja dan dimushafkan (dicetak dan ditulis) serta harus ditransfer dengan perantaraan Qalam (pena) agar dapat dibaca.
Selain sebagai wahyu yang diturunkan memalui perantara malaikat jibriel, al-Qur’an juga dikenal sebagai kalam Allah yang dinuzulkan secara bertahap dan Mutawatir (tersosialisasi di tiap komunitas dan generasi), utnuk disampaikan kepda seluruh manusia di segala bangsa di sepanjang masa agar mansia membaca menghafal, mempedomani dan mengajarkannya –sebagai bagian dari ibadah- sehingga tercipta kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat.
Adapun mansuia sebagai makhluk yang paling mulia dibanding makhluk-lamkhluk lain yang ada di bumi, diciptakan untuk merealisasikan rencana besar Allah sehingga manusi diberi akal agar mampu menjadi perpanjangan tangan dalam menitipkan amanah untuk mengolah dan melakukan perubahan-perubahan di muka bumi khususnya dan alam semesta umumnya.
Untuk lebih jealsnya ada tiga komponen yang menajdi dasar perubahan yang diciptakan Allah yang saling membutuhkan. Apabila salah satu dari tiga komponen ini tidak menjalankan kedudukan dan fungsinya secara baik, maka tidak akan ada produksi atau terhambatlah perubahan. Ketiga komponen itu adalah institusi, konstitusi dan eksekutif.

Institusi (Wadah, tempat, Lembaga)
Sebelum Allah menciptakan manusia, Allah terlebih dahulu menciptakan bumi sebagai tempat tinggal manusia. Allah juga mempersiapkan berbagai perangkat keras dan lunak dalam pemenuhan kebutuhan manusia di bumi. Artinya, bumi diciptakan Allah sebagai institusi. Apabila kita membagi-bagi bumi itu, maka kita akan menemukan beberapa benua yang terdiri dari daratan dan lautan,selanjutnya bila bibagi-bagi lagi, kita akan menemukan negara-negara dengan berbagai bangsa. Lantas kalau dibagi lagi akan ditemukan berbagai wilayah setingakty propinsi yang terdiri dari berbagai suku dan kebiasaan. Sampai pembagian itu menjadi institusi yang pakling sederhana, yakni sebuah keluarga, bahkan diri kitapun merupakan institusi bagi jiwa dan karakter juga termasuk nyawa dan ruh, yang terdiri dari organ-organ yang beragam fungsi dan kutamaannya. Firman Allah:

“Yang menjadikan bagimu bumi sebagai tenpat (melaksanakan ) hidayah (al-Qur’an)” (QS. 20:53).

Konstitusi (Aturan/hukum)
Allah menjadikan al_qur’an itu bukan hanya sebagai sumber hukum alternatif, tetapi justeru harus sebagai hukum yang utama. Dan ini merupakan tolak ukur keimanan. Orang dikatakan berimana kepada al-q\Qur’an bilamana ia memiliki kesadaran hakiki, bahwa tidak ada aturan yang dapat menjadikan bumi ini aman damaidan sejahtera selain dari aturan Allah, tidak ada rasa apatisme, sketisme, apalagi phobisme. Bila tidak keimanannya disangsikan.

Firman Allah:
“Maka tidak. Demi Tuhan (Pengatur/ Pendidikmu) mereka sebenarnya tidak beriman, sampai mereka menjadikanmu (Rasulullah SAW) sebagai hakim dalam perselisihan yang terjadi di antara sesama merejka, kemusian mereka tidak merasa berat dalam diri mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerimanya dengan tunduk dan patuh.” (QS. An-Nisa’ (4) :65)


Eksekutif (Pelaksana)
Al-Qur’an tanpa manusia adalah seperti wacana tanpa ada pelaksana atau seperti organisasi, perusahaan dan persayarikatan yang lengkap dengan AD/ART (anggran dasar/Anggran Rumah tangga), ada kantornya tetapi tidak punya anggota yang menjalankannya.

Demikian juga Islam, walaupun Islam itu sudah menyebar ke mana-mana, al-Qur’an dan hadits sebagai perangkat syariat juga telah komplit dan sempurna, bila tidak ada manusia yangmenjadikannya hukum yang mngetur masayarakat, jelas tidak akan terjadi perubahan apapun. Orang pada sibuk berdebat tentang baca basmalah zahar atau tidak, baca Qunut pada sholat subuh apa tidak, toh mungkin sebagaian yang bersitegang utar leher sama-sama tidak sholat. Orang yang kasak-kusuk membahas fiqih, bahas sifat Allah, bahas ini apa hukumnya dan sebgainya mungkin sebagian pembahas tidak tak tahu mau ditaruh di mana fiqih itu, bagaimana sifat Allah itu bisa disyahadahkan (disaksikan).

Tentunya, bila sebagian kita berupaya menegakkan hukum Allah dalam kehidupan nyata, tentu kita akan menyaksikan bagaimana Allah mengatur kehidupan, betapa Maha Kuasanya dan Perkasanya Dia, Maha Esanya Dia. Jelasnya, manusia perlu al-Qur’an untuk memanajemen alam, dan selanjutnya bumi juga dibutuhkan oleh mansuia sebagai tempat al-Qur’an dibumikan. Firman Allah: (QS.55 (ar-Rahman) :1-4 dan 10).

“Maha Pengasih. Dia mengajarkan Al-qur’an. Dan Dia menciptakan manusia. Lalu Dia mengajarkannya penjelasan/ bayan (sunnah rasul)…Dan bumi, penempatannya (peletakannya) bagi makhluk”.

No comments:

Post a Comment