Tuesday 6 May 2008

Kumpulan Cerpen Jufri Bulian Ababil



Payung Pengantin

"Heni…!!!" seru ibuku tertahan. "Tujuh kali 'Mak mengandungmu, tujuh kali pula 'Mak melahirkanmu. Mak mohon, penuhilah keinginan Emak sekali ini," kata ibuku. Aku anak bungsunya tertegun, termangu sambil menatap wajahnya dalam-dalam. Tampaknya Ibu begitu berhasrat menjodohkanku dengan Andi, anak Bu Dahlia, sahabatnya itu. Hening sejenak, sampai tiba-tiba Ibu kembali berujar.
"Kau sudah berumur, Heni. Bukannya Emak memaksakan kehendak. Tapi Mak harap, mengertilah kau Heni, Emak kau ini dan Bu Dahlia itu sudah bersahabat lama, bahkan kami sudah seperti saudara. Janganlah kau kecewakan Emak, Nak! Penuhilah hajat mereka untuk mempersuntingmu. Apa kata orang nanti bila cakap Emak sudah tak didengar anak sendiri. Siapa lagi yang mau mendengar kata Emak ini. Emak khawatir, Henni. Rusak nanti hubungan persahabatan Emak dan Bu Dahlia itu bila maksud hati keluarganya kita tolak. Mungkin, andai ayahmu masih hidup, tentu dia pun akan bahagia bila melihat kau dapat dipersunting Andi yang masih bersangkut keluarga, berpaut tutur dengan Mendiang ayahmu," terangnya.
"Tapi Mak. Bagaimana mungkin Heni hendak menikah dengan lelaki yang tak Heni kenal. Bukannya Heni mau mendurhakai Emak. Tapi Heni rasa-rasa, kalau memang Heni hendak dikawinkan, tentulah Heni mesti selidiki dulu perihal tabia't bakal suami Heni. Emak kan tahu, bukan mudah 'ndak cari lelaki baik-baik zaman sekarang ini. Lagi pula, membina rumah tangga itu bukannya cukup sehari dua. Tapi untuk seumur hidup, Mak," tandasku meyakinkan Ibu.
"Terserah engkaulah, Heni. Kalau pun hendak kau selidiki, Mak pun tak bisa cakap apa-apa lagi. Tapi Mak yakin, manalah mungkin Bu Dahlia mencarikan jodoh untuk anak laki-lakinya perempuan yang 'tak berbudi', tentu anak sahabatlah yang lebih diutamakan," tukas Ibu.
Aku takut menolak permohonan ibu dan menyakitinya bila menolak. Aku takut mendurhakainya. Namun kuharap, sebelum bertunangan aku dapat bisa melihat calon suamiku.
Namun, di hari yang ditunggu-tunggu, hari pertunangan itu, entah kenapa aku yang sebelumnya begitu menggebu-gebu ingin menyelidiki bagaimana bentuk, sifat dan perakalan calon suamiku itu, kini bagai sudah ditenung. Jangankan menyelidik, melihat batang hidung calon lakiku itu pun aku tak teringat. Sedikitpun suaraku tak terdengar dalam menanyakan pada ibu, mana di antara tamu-tamu yang hadir itu calon suamiku. Sampai tamu-tamu berpulangan, yang katanya bernama Andi itu yang mana pun aku belum tahu.
Begitu teringat kealpaanku, aku jadi kesal. Kenapa tadinya aku sok lugu, pura-pura malu-lalu. Kenapa tadi kepalaku kutundukkan terus menerus. Aku bisa lupa keinginanku untuk melihat seolah-olah mataku sudah terdinding. Apa ini yang namanya jodoh? Malah saat ditanyakan padaku apa aku menerima lamaran keluarganya, lidahku secara tak diduga-duga menyetujui pinangan itu.
Di hari pernikahan, ibu tampak bahagia sekali menyaksikan aku dan anak sahabatnya Bu Dahlia bersanding. Saking bahagianya, ibu sendiri ikut mengarak dan memayungiku sepanjang jalan. Payung pengantin itu berwarna kuning. Cantik sekali. Dipenuhi perhiasan manik-manik berwarna perak membuatnya ketika mengarak kami berdua yang sedang jadi sepasang pengantin baru berkilauan diterpa sinar matahari.
Sebulan setelah menikah, suatu hari Ibu berkata kepadaku, "Nak… Janganlah kau punya anak dulu."
"Kenapa Mak?" tanyaku. "Mak yang menjodohkanku, tapi kenapa Mak Pula yang melarangku untuk punya anak," sambungku pula.
Ibuku hanya menjawab, "Entahlah Nak. Ibu pun tak tahu. Tapi hati ibu berkata. Ada waktunya kelak kau akan punya anak."
Hatiku tak tenteram oleh kata-kata ibu. Selain merasa aneh aku juga tak mengerti maksud ibu mengatakan itu. Rupanya itulah hari terakhir ibu berbicara padaku. Tiga hari setelah mengatakan itu ibu sakit, radang tenggorokan. Hari demi hari sakitnya semakin parah. Tiga rumah sakit sudah ditempati ibu untuk mencoba mengurangi penderitaannya, namun ketentuannya sudah sampai, ibuku meninggal.
Beberapa bulan kemudian baru kutahu banyak tentang Andi dan aku merasa dikhianati. Sahabat tinggal sahabat, saudara tinggal saudara. Apa yang diinginkan ibu demi kebahagiaanku ternyata jauh, jauh dari yang ia harapkan. Rupanya, keluarga Andi tak terbuka pada keluarga kami. Mereka menyembunyikan banyak hal tentang Andi, tentang kebiasaannya, tentang penyakit yang diidapnya. Andi pemabuk, tak pandai cari nafkah dan lebih parah lagi, Andi ternyata mengidap kelainan jantung.
Satu setengah tahun menikah dengan Andi bagiku bagai perang melawan takdir. Selain harus menerima keadaan Andi yang pemabuk dan penyakitan, aku juga harus berusaha memenuhi nafkah demi menghidupi kami berdua dan belajar untuk mencintai Andi. Sebab biar bagaimanapun, dia tetap suamiku, titipan ibuku. Semua ini kulakukan demi almarhumah ibu. Namun hingga hari ini nasibku belum beruntung tak dikaruniai anak. Akhirnya, kuasuh anak adikku yang ditinggal ibunya saat baru berusia 6 hari, karena cerai dengan suaminya.
Waktu telah membuatku lupa bahwa ia sebenarnya hanya keponakanku, aku tak pernah menghamilkannya atau melahirkannya, namun sudah menganggapnya bagai anak sendiri. Semua kasih sayangku bak ibu sendiri tumbuh seiring berjalannya waktu.
Setahun aku sempat hidup bersamanya. Lagi pula ia sudah menganggapku ibunya dan suamiku adalah ayahnya.Sedangkan ibu kandungnya sendiri sekalipun tak pernah melihatnya.
Hatiku hancur saat malam hari raya Idul Fitri. Di tengah-tengah gema takbir malam ini, ibu kandungnya datang meminta anaknya. Baju hari rayanya telah kubelikan. Aku tak kuasa menahannya. Ibunya telah menghinaku. Katanya, aku mandul tak bisa beranak. Sehingga telah merampas anak yang telah dibuangnya dari tangannya. Bukannya aku tidak berobat, bukannya suamiku tidak berobat. Kami berdua hampir putus asa demi bisa dikaruniai anak.
Saat bertemu keponakanku, anak abangku tertua, semula aku tak percaya bahwa ia bisa membantuku. Sebab setahuku di keluarga kami keponakanku itu dikenal bukan seorang yang bisa mengobati. Namun, ada baiknya kucoba siapa tahu. Di tengah-tengah keraguanku, tiga bulan kemudian aku merasakan mual-mual. Kata orang aku hamil. Tapi aku tak percaya. Barangkali ini hanya sakit atau masuk angin. Ternyata setelah aku mengadukan berita ini, terjadi lagi perubahan. Aku memang perempuan perokok. Dan saat itu aku merasa sesuatu yang lain bila merokok. Mengetahui aku Hamil, Andi, suamiku bagai ketiban bulan. Ia merasa bagai mendapat mukjizat. Rasa percaya dirinya tumbuh. Ternyata dia bukan seperti yang dituduhkan orang dalam gosip mereka, "Andi, suami Heni yang idiot itu impoten." Singkatnya, Andi mulai menunjukkan tanggung jawab, mencintaiku dan aku pun bangga padanya.
Saat pertama-tama hamil aku memang banyak permintaan. Minta belikan ini-itu dan mengalami banyak hal. Selain sering sakit-sakitan meskipun sudah sering memeriksakan kesehatan ke dokter, aku juga pernah jatuh sakit, tekanan darah rendahku kumat. Aku terhempas di kamar mandi.
Khawatir dengan kandunganku aku memeriksakannya lagi ke dokter spesialis. Kata dokter kandunganku tak apa-apa. Memasuki bulan keenam kehamilanku aku jatuh lagi, perutku terhempas di tengah keramaian pasar. Orang-orang membopong tubuhku ke klinik terdekat.
Ada tanda-tanda aneh menjelang akhir-akhir kehamilan, bulan ke delapan usia kehamilanku. Saat makan malam di dapur, seekor kucing melompat ke arahku dan mengencingi perutku. Aku berang.
"Sudah capek-cepek membersihkan badan, kucing celaka itu mengencingi pula!", batinku.
Suatu hari, Andi menyiram seekor tikus dengan air mendidih di dapur. Maklum, di rumah kami banyak tikus. Pada suatu malam, saat tidur, dua ekor kelabang menjalari perutku membuatku tersentak bangun karena merasakan sesuatu. Aku menjerit. Suara jeritanku membangunkan Andi. Ia pun membunuh sepasang kelabang itu.
Setahuku, sembilan bulan sepuluh hari adalah masa ideal usia kehamilan. Sebab, lebih atau kurang dari masa itu biasanya orang hamil akan melahirkan. Maka Andi membawaku ke rumah sakit untuk bersalin. Sepuluh hari di rumah sakit tak ada reaksi apa-apa. Ditanya dokter, dokter hanya menjawab kandunganku baik-baik saja, sementara biaya rawat inap terus membengkak. Memikirkan hal itu aku minta pulang dengan dokternya. "Pak, saya sudah sehat," laporku pada dokter sambil menjinjing dua tas plastik yang sejak tadi malam sudah kukemas-kemasi.
Dokter tetap belum mengizinkan, katanya kondisiku masih lemah. Aku terus mendesaknya sampai dokter itu berkata, "Fikirkan kandungan Ibu! "
Aku terdiam, tertunduk sambil mengelus perutku, "Anakku", cetus jiwaku. Fikiranku berubah. Aku kembali ke ruangan inap.
Dokter datang 3 hari kemudian. Sambil tersenyum ia terangkan, aku boleh pulang. Nanti, tambahnya, bila ada tanda-tanda melahirkan aku boleh menghubunginya. Kutanyakan lagi apakah janinku sehat. Dokter memastikan, "Ya!"
Seminggu kembali ke rumah baru kurasakan perutku sakit sekali. Seperti ada yang menolak dari dalam. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Tak ada siapa-siapa di rumah. Andi, suamiku tiga hari lalu pergi berpuluh-puluh mil dari rumah, pergi ke kota mencoba meminjam uang demi membayar hutang biaya rawat inapku di rumah sakit selama 2 minggu.
Dengan penuh was-was kupanggil tetangga. Salah seorang di antara mereka berusaha mencari bidan kampung malam itu juga. Yang lainnya dengan penuh setia menungguku yang sedang merintih kesakitan. Beberapa saat lamanya aku menunggu sampai bidan yang dijemput datang.
Dikelilingi bidan kampung, dibantu beberapa orang tetangga dan kakakku yang baru sampai, aku berusaha melahirkan bayiku, tapi tak berdaya. Semangatku tak mampu mengalahkan kelelahanku. Aku pingsan. Mereka harap-harap cemas melihatku. Tubuhku basah oleh keringat, tapi bayiku belum juga keluar. Tak lama berselang aku kembali siuman, sadar dan memandang ke sekeliling. Batinku berkata, "Aku harus kuat. Anakku harus terlahir dini hari ini juga meski tanpa Andi, cintaku."
Aku memanggil-manggil ibu dalam kesakitan yang kurasakan. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat dia. Mungkin seperti inilah yang dirasakannya sewaktu melahirkanku dulu.
Kak Vina memegang kuat tanganku dan meremas jariku seolah memberiku dukungan semangat. "Heni, kau harus kuat!"
Maka kucoba sekali lagi. Entah kapan pingsan lagi aku pun tak tahu, sekarang tiba-tiba saja aku merasa perutku sudah mengecil. Batinku berkata, "Puji syukurku pada Mu, anakku sudah lahir."
Tapi, saat fikiranku mulai bekerja dan kesadaranku mulai pulih, hatiku bertanya-tanya. Kenapa tak ada suara tangisan bayi. Biasanya ada orang yang melahirkan, ada suara tangisan bayi. Kucoba buka dua mata dan pandang sekeliling, ke kiri dan kanan. Tiada bayi.
"Mana anakku?!!!!" Seruku menyerupai rintihan. Semua membungkam. Dan kulihat bidan menghampiri dan berkata, "Sabar ya Heni, anakmu dibawa keluar sebentar. Anakmu sehat."
Dia berkata seperti itu sambil tersenyum, tapi senyumnya pahit. Jam sudah menunjukkan pukul 5 subuh. Lelah aku menunggu, anakku tak kunjung dibawa ke dalam kamar tapi ditaruh di luar. Batinku berontak.
"Aku yang melahirkan! Kenapa mereka tidak menaruhnya di sampingku. Ke mana perasaan semua orang. Apa mereka tak merasa, aku ingin sekali melihat buah hatiku".
Kegelisahanku bertambah-tambah ketika orang-orang makin ramai memenuhi rumah. "Ada apa? Ada apa?" batinku kian bertanya-tanya. "Banyak orang melahirkan tapi tak seramai ini."
Sebentar-bentar mereka melongok (meninjau) ke dalam kamar, ke arahku. Seolah melihatku dengan penuh kasihan, seolah menyampaikan rasa duka cita.
Kupanggil Kak Ervina kakakku. "Kak, anakku Kak. Aku ingin melihatnya, bawa dia kemari, Kak. Kumohon," harapku.
Kak Vina orangnya rapuh. Dia tak pandai menahan diri, tak bisa menahan hati. Ia merengkuhku, memelukku sambil menjerit pilu.
"Sabarlah engkau hai adikku…!!!" Lalu ia menangis sejadi-jadinya.
Melihat Kak Vina menangis yang lain ikut menangis, karena merasa tak perlu lagi ada yang harus disembunyikan. Kutanya Kak Vina, "Anakku mati ya, Kak?".
Kak Vina semakin memperkuat tangisnya. Bidan itu menimpali sambil menyapu kepalaku, "Sabarlah kau ya, Nak?" Kata bidan kampung itu.
Aku tak menangis sedikitpun. Tak setetespun air mata keluar dari kelopak mataku. Hanya hati hancur sehancur-hancurnya, Jiwa perih tak tertahankan. Seolah tak lagi berada lagi di bumi. Jiwa melayang-layang mencari ke mana harus menggantung lara ini. Kupejamkan mata beberapa saat. Batinku berkata dalam do'a.
"Ya Allah, ternyata Engkau tak berkenan padaku untuk mencurahkan kasih sayang pada anakku. Kenapa engkau setega ini? Atau Engkau hendak mengujiku apakah aku rela dengan apapun yang kau gariskan dalam hidupku. Hampir saja aku merasa tak bertuhan bila tak sadar akan kelemahan."
Orang-orang makin ramai. Rumah semakin sesak, karena mereka berdesakan ingin melihat apa yang terjadi. Tak memikirkan keadaan yang lemah aku bangkit dari tempat tidur. Beberapa orang berusaha mencegah, tapi aku tetap bersikeras.
"Biarkan aku melihat anakku!" Teriakku marah sekali. Anakku ditaruh dalam bedungan persis di sudut kiri ruangan tengah rumah itu di atas kasur kecil berkelambu kecil layaknya bayi yang sedang tidur.
Aku berjalan tertatih tatih seraya tangan menelekan ke dinding agar tidak jatuh. Setapak demi setapak lantai kulalui dan anakku sudah semakin dekat. Beberapa langkah lagi anakku terhampiri, tiba-tiba seorang tetangga membawanya pergi menuju dapur seolah hendak menghindarkannya dari belaianku.
Tanganku menggapai-gapai hendak memanggilnya tapi suaraku tak keluar, seolah tercekat di tenggorokan. "Sebentar ya, Bu! Anak ibu mau dimandikan," katanya merasa tak berdosa.
Aku duduk dekat kasur kecil itu, menyelunjurkan kedua kaki sambil menengadahkan kedua tangan dan menaruhnya di atas kedua paha seperti hendak menyambut sesuatu. Aku ingin memangkunya.
Sejurus kemudian terdengar suara bertengkar di dapur. Mereka bertengkar apa aku boleh melihat anakku atau tidak. Sayup-sayup kudengar ada yang ngotot agar aku harus melihat anakku, sebab aku ibunya; yang lainnya ngotot agar tidak melihat sebab aku tak akan kuat.
Hatiku bertanya-tanya kenapa aku tak kuat melihatnya. Semula kufikir hendak menyusul anakku saat dibawa ke arah dapur. Katanya mau dimandikan. Tapi tiba-tiba fikiranku kuurungkan sebab melihat bercak-bercak darah di kasur anakku.
"Apa yang terjadi terhadapmu, Nak?" batinku.
Hatiku semakin kuat demi ingin melihatnya. Kutarik nafas dalam dalam seperti hendak menyiapkan diri melihat segala kemungkinan yang bakal terjadi. Tak lama berselang, kak Ervina datang membawa anakku yang sudah dibalut kain kafan, ia langsung kupanggil.
"Kak! Aku ingin menggendong anakku…Tolonglah, Kak, ku mohon."
Ia tak sampai hati memutuskan harapanku. Anakku diangsurkannya seraya membuka kain kafan yang menutupi wajahnya, aku pun bersiap-siap menyambutnya dengan segala harapan. Begitu wajah terbuka. Tanganku tanpa sadar kutarik lagi seperti mengurungkan niat. Lagi-lagi aku membatin.
"Nak. Bukan ibu tak ingin menyentuhmu. Tidak Nak. Ibu ingin sekali menggendong dan membelaimu, tapi tak sampai hati melihat keadaanmu seperti ini. Sebab, ibu terlalu egois hendak menyentuhmu, memangku dan menciummu sementara kau sendiri kesakitan saat ibu melakukannya. Tentu mereka-mereka ini telah membuatmu kesakitan sejak kau terlahir tadi, sampai engkau mengeluarkan darah. Ibu tahu itu karena melihat bercak-bercak darah di sepanjang lantai rumah kita. Demi kasih sayang ibu, ibu tak akan menyentuhmu, agar engkau tak merasa kesakitan oleh kedua tangan ini".
Baru saat ini aku bisa menangis. Betapa tidak, anakku terlahir tanpa tulang. Walaupun anggota tubuhnya lengkap. Tapi, ia seperti balon bocor yang diisi air yang setiap disentuh akan mengeluarkan darah dari mata, kuping dan hidungnya.
Jiwaku berkata, anakku terlalu rapuh meskipun menerima selembut-lembut sentuhanku. Sekali lagi kupejamkan kedua mataku menekan kehancuran hati.
"Oh tuhan, hampanya hatiku saat ini. Kenapa harus mencurahkan tanda kasih sayangku padanya dengan cara tidak menyentuhnya, karena takut darah akan keluar dari tubuhnya, padahal aku sangat ingin menyentuhnya", ketus batin ini.
Aku melangkah gontai kembali ke kamar. Kubiarkan mereka bersiap-siap hendak menyolatkannya (menyembahyangkannya), meski juga sempat ribut-ribut gara-gara mempersoalkan apakah anakku disholatkan atau tidak.
Ada yang berkata disholatkan, karena ia lahir cukup bulan; yang lain berpendapat tidak, karena lahir dalam keadaan tak bernyawa.
Terdengar lagi suara riuh di luar kamar. Orang-orang sibuk, kasak-kusuk, ribut-ribut bagai terjadi sesuatu.
"Anakku! Kenapa lagi engkau, Nak," batinku.
Ku raih pintu kamar secepatnya seolah hendak melompat ke luar, ingin menyaksikan apa yang terjadi. Sebelum meraih pintu kamar. Tiba-tiba seseorang masuk ke kamar sambil tergopoh-gopoh.
"Ada apa?" tanyaku padanya. Katanya tak ada payung hendak mengantarkan anakku ke pemakaman. Sejurus kemudian kubuka lemari mencari payung. Tak ada payung selain dari payung berwarna kuning, payung pengantin.
"Sudah biar kakak saja yang menyerahkannya," tukasku saat ia hendak mengantar anakku ke depan pintu, lantas mengiringinya ke tempat peristirahatannya yang pertama dan terakhir. Anakku itu sudah terlalu lelah.
Aku mulai berjalan pelan sambil membawa payung itu ke arah pintu, di mana Pak ustadz sedang menggendong bayiku.
Sebelum menyerahkan payung sempat terlihat anakku terbungkus kaku.
"Nak. Selamat jalan, Nak. Mohon maaf ibu, karena kau tak sempat melihat ayahmu. Tapi percayalah pada ibu, sekali ini saja. Percayalah, kau terlahir dari pernikahan yang halal, perkawinan yang direstui kedua orang tua. Payung ini menjadi saksi pernikahan ibu, Nak. Payung inilah yang memayungi ibu dan ayahmu diarak sepanjang jalan. Perlu kau tahu, Nak. Ayahmu ayah yang baik. Dia bukan tak ingin melihatmu lahir Nak, bukan pula ia mau lari dari tanggung jawab. Dia sangat mencintai kita. Dia tak ada di sini karena kesalahan ibu juga, terlalu banyak biaya karena sakit-sakitan. Dia pergi jauh mencari pinjaman uang untuk membayar biaya rumah sakit yang terlalu mahal untuk orang miskin seperti kita," batinku bicara padanya.
Beberapa hari kemudian, malam ketiga anakku ditalqin, Andi, suamiku itu pulang membawa beberapa pakaian bayi. Uang pinjaman pun diperolehnya. Ia bingung melihat keadaanku. Ia juga tak bisa berkata apa-apa melihat rumah kami ramai dikunjungi orang takziah. Ia hanya berbisik.
"Sudahlah, Dik…yang penting engkau sehat."
Esoknya, aku dan Andi terkejut. Soalnya tak ada yang memberitahukan bila Maryam, demikian kami memberinya nama, ternyata dikubur di atas kuburan ibuku. Artinya anakku satu kuburan dengan neneknya yang lebih dahulu meninggalkanku selama-lamanya. Jasadnya diperkirakan hanya beberapa jengkal saja saja di atas jasad neneknya, seolah neneknya ingin memangku dan menggendongnya. Hatiku lagi membatin.
"Mungkin, inilah maksud perkataan ibuku dahulu beberapa masa sebelum ia meninggal dunia."
Di kubur itu aku berdiri. Pada ibu kukatakan, "Dahulu, Mak katakan agar aku jangan punya anak. Rupanya Mak yang hendak menggendong cucu Mak itu. Dulu Mak yang menitipkan Andi agar aku mencintainya. Kini kutitipkan anakku ini padamu Mak. Engkau rawatlah cucumu ini." Semoga ia mendengarku.

Tanjung Balai, 2004



Uzur

Siang itu, Bu Mely tertidur pulas di balai-balai rumah. Balai-balai kayu tua itu peninggalan almarhum suaminya, Datuk Bahar, yang meninggal sepuluh tahun lalu. Bu Mely sudah lanjut usia. Keadaannya sangat uzur. Wajahnya keriput dimakan usia. Lihatlah matanya, cekung. Tubuhnya kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Rambutnya sudah putih semua, tumbuhnya pun jarang-jarang. Sehingga, dilihat dari dekat, di sela-sela ubannya, kelihatan mengkilap batok kepalanya. Maklum, usia Bu Mely sudah tujuh puluh lima tahun. Bahkan, di bonggol gusinya pun malah sudah ditumbuhi gigi-gigi kecil, mirip gigi tikus.
Bu Mely bergerak sedikit, sambil mengeluarkan suara seperti mengerang. Perempuan berambut sepunggung tampak seperti hendak melompat, bergegas mendekati, seperti lekas-lekas hendak segera meraih tubuh rapuh itu.
"Widya….!" Seru Bu Mely setengah berteriak serak. Tubuhnya menggeliat seperti risih karena merasakan sesuatu.
"Saya, Mak!" Sahut perempuan yang kalau ditaksir-taksir berumur kepala dua itu. Rupanya ia bernamaWidyawati.
Ditinggalkan Widya setumpukan buku pelajaran yang sedang ia baca untuk persiapannya ujian akhirnya, lusa. Pasalnya, ia harus menuruti segala perintah ibunya yang kadang aneh-aneh.
Widya menyelinapkan sebelah tangannya ke punggung ibunya yang sedang berbaring, seperti meraba alas tidur itu. Basah, fikirnya. Sementara mata ibunya masih terpejam, pertanda ia masih tidur. Sejurus kemudian, tangan Widya digeser lebih ke bawah. Basah juga. Tahulah ia apa yang harus dilakukannya segera. Apalagi, kalau bukan membersihkan tempat tidur itu, lalu menyalin pakaian ibunya.
Selesai mengganti baju kebaya hijau tua dan kain sarung berlumur kotoran bercampur air kencing dengan baju dan sarung lain, Widya pun kembali mencicahkan pantatnya menghadap tumpukan buku pelajaran yang akan ia hafal. Baru sepeminum teh fikirannya tenggelam, asyik menekuri bahan-bahan yang diperkirakan bakal keluar dalam soal ujian, Ia kembali dikejutkan teriakan ibunya. Hafalannya buyar oleh teriakan itu. Ia pun melompat lagi memburu ke arah ibunya.
"Ada apa, Mak?" Tanya Widya lembut.
Bukannya menjawab, Bu Mely malah menangis tersedu-sedu.
"Ibu lapar?! Biar Widya sulangi, ya?" Cetus Widya lembut coba menebak keinginan ibunya. Ditanya begitu, Bu Mely malah kian memperkuat tangisnya. Mulutnya diponcong-poncongkan, seperti mencibir.
"Bawa aku ke rumah anakku Devi….atau anakku Rina….Udin…! Tengoklah Mak, Nak! Mereka ini jahat, tak mau memberi, Mak makan. Kau bukan anakku! Kau jahat!…hu..hu..hu," hardik Bu Mely sambil menepis tangan Widya.
Berdenyut jantung Widya menahan keperihan, melihat sikap ibunya yang sudah pikun itu, meresap pilu di jiwanya mendengar hardikan itu. Namun ia bersabar, sebab ia faham betul, barangkali apa yang dilakukannya beberapa bulan terakhir, mengurusi perempuan renta itu, masih tak sebanding dengan jerih payah perempuan tua itu mengandung, melahirkan dan membesarkannya dulu.
Sedangkan, nama nama yang disebut-sebut Bu Mely tadi memang anaknya juga. Sebenarnya mereka lima bersaudara. Anak sulungnya, yang disebut Rina tadi; anaknya kedua bernama Yeni; yang tengah-tengah Udin; sedang yang dipanggil Devi itu, anak nomor empat; Widya sendiri anak bungsu.
Dalam termanggu, Widya berdiri terpaku. Fikirannya kosong, tampak seperti sedang menghadapi pukulan berat. Tangis ibunya bagai tak didengarnya lagi saking dalamnya lamunan itu.
Untunglah, Yeni, kakaknya, segera menyembulkan diri dari balik daun pintu utama rumah panggung berkolong tinggi dengan tiang besar di bagian tengah, sebagai ciri khas rumah adat Melayu Asahan itu. Sejurus kemudian, Yeni, janda beranak 4 itu, mendorong pintu dari luar dengan tangan kanannya. Sedang, tangan kirinya tetap memegang tampah yang bertengger di kepalanya. Tampah itu berisi beberapa jenis kue. Ada kue lapis, kue talam, nasi manis, ada juga lepat pulut dan kue jenis lain.
"Sudahlah Wid, engkau hafallah pelajaranmu itu. Mak, biar Kakak yang urus", tukas Yeni sambil menurunkan tampah berisi kue dagangannya ke meja makan di sudut kanan rumah, lantas ia duduk di sebelah ibunya yang masih meronta-ronta. "Kak. Apa kata Kak Devi?” Tanya Widya pada Yeni sambil tangannya merapikan buku-buku yang penuh bekas sobekan yang sudah dilem dan dijahit, yang hitam bekas terendam lumpur lalu dicuci dan dikeringkan. Semua itu, tentu saja ulah ibunya yang suka mengoyak atau berebut buku dengan anak Yeni yang baru berumur 3 tahun, Abdi.
"Entahlah, Wid….! Kakak pun tak tahu lagi apa yang hendak dicakapkan," tandas Yeni sambil menghela nafas berat.
"Mengapa Kakak berkata begitu? Memangnya, apa yang Kakak bilang sama Bang Udin, Kak Devi dan Kak Rina?" Tanya Widya kian tak mengerti. "Mereka bilang apa sama Kakak?" Imbuhnya lagi.
"Sehabis jualan tadi pagi Kakak sudah sempatkan menyambangi si Devi. Kakak sudah sampaikan, emak kita sudah rindu dan minta tinggal beberapa minggu di rumahnya. Kakak 'dah menyuruhnya datang ke mari menjemput emak. Tahu apa jawabnya? Dia bilang, mana mungkin emak dibawanya ke rumahnya. Makannya pun susah. Kais pagi makan pagi, kais petang makan petang. Lakinya pun cuma pelaut pukat kecil. Nanti, katanya, bisa-bisa emak kita kebuluran di rumahnya, tak makan-makan," terang Yeni menjelaskan percakapannya dengan adiknya Devi.
"Kak Rina sudah jumpa, Kak?" Tanya Widya lagi.
"Dia pun sudah Kakak kerahkan ke sini, biar bisa mengurus emak ini. Kakak pun sudah menawar, bila dia tak mau membawa emak kita ke rumahnya, paling tidak datang-datanglah ke sini mengurus emak. Tapi, lain pula jawabnya. Mau tahu apa jawabnya?! Katanya, bagaimana ia mau mengurus emak, cucunya saja pun sudah membuatnya kewalahan. Tahulah, katanya, cucunya banyak dan nakal-nakal semua. Duduk barang sekejap pun dia tak sempat. Konon lagi, mengurus emak kita ini, bisa mati berdirilah dia," jelas Yeni pada Widya.
"Bang Udin?!" Tanya Widya ingin tahu. Bukan ia merasa lelah mengurus ibunya, atau hendak melemparkan tanggung jawabnya sebagai anak pada kakak abangnya yang lain. Ia hanya mau mendengar alasan dari Yeni, biar hatinya puas.
"Maklumlah kau dengan Bang Udin. Dia itu anak laki-laki, kerjanya banyak di luar rumah, cari nafkah. Sebulan lalu pun, ia sudah coba membawa emak ke rumahnya. Di sana, bukannya dia yang mengurus emak. Istri dan anak perempuannya, kan? Seminggulah bisa bertahan. Kau lihatlah sendiri. Bang Udin pun sudah mengadu pada Kakak. Di rumah ia sering bertengkar dengan bininya, soal mengurus emak. Kak Rani, istrinya itu, betul juga penuturannya. Ada empat anak perempuan emak, kenapa harus menantu yang mengurusnya. Anak-anak perempuan jadi apa? Bang Udin pun sudah macam ketakutan. Katanya, nanti gara-gara emak, bisa-bisa mereka bercerai. Sudahlah Widya, kita urus dan rawat sajalah emak kita ini. Jangan kau berharap sama Bang Udin atau dua kakakmu yang sudah sibuk cari makan dan mengurus cucu itu. Tak perlu kau risau Widya. Lagi pula, sesekali, bukankah Bang Udin mau juga singgah ke mari, menitip uang belanja untuk emak pada Kakak," papar Yeni.
Paparan kakaknya, memutus pertanyaan Widya. Ia terdiam, coba mencerna bagaimana kesudahan yang dialaminya sejak tiga bulan terakhir, sejak ibunya mulai bertingkah laku seperti anak kecil.
Kepada tiap tamu yang datang ke rumah, Bu Mely selalu mengadu, mengaku sering dimarahi, dipukuli dan disiksa oleh anaknya Widya dan Yeni. Tak pernah diberi makan. Tak pernah diizinkan menemui anaknya Devi, Udin dan Rani. Padahal, orang sekampung pun tahu, walau Yeni itu janda cerai karena suaminya pemalas tak mau cari nafkah; biar anaknya masih kecil-kecil, kerjanya sehari-hari cuma pedagang asongan berkeliling di pajak dan keramaian, mengumpulkan uang sepeser dua peser; tetapi, Yeni tak pernah mengeluh mencarikan sesuap nasi untuk ibunya yang uzur itu.
Begitu pun Widya. Entah sudah berapa banyak bukunya yang disobek-sobek, dihunggis-hunggis, dikunyah-kunyah ibunya yang edan karena usia lanjut. Padahal, buku itu dibeli dari uang hasil cucuran 'keringat jagung', yang dikumpulkan berbulan-bulan dari upah mencucikan, menyetrika, mengepel dan membersihkan rumah orang layaknya seorang babu atau pembantu rumah tangga. Tetapi semua itu ditelannya bulat-bulat. Tak dibiarkan jadi hambatan meraih prestasi di sekolah.
Orang sekampung pun tahu siapa Devi, Rina dan Udin, tiga anak Bu Mely selain Widya dan Yeni; juga menantunya Rani, istri Udin yang pesolek itu. Waktu enam bulan sudah cukup bagi orang-orang menilai, lidah siapa yang lurus dan lidah siapa yang bengkok; mana alasan menutupi keengganan, mana pula jalan mewujudkan kemauan; siapa pengabdi yang mempersembahkan bhakti, siapa pula yang keji, menutup mata dan hendak lari dari tanggung jawab, lalu berkilah, bersilat lidah. Setelah itu waktu pun seperti berlari, bergegas hendak menjawab segala yang tersimpan di hati, baik kebusukan maupun keikhlasan, karena memang tak selamanya hidup itu sebuah teka-teki. Tak terasa, sudah tiga puluh tahun berlalu. Sejak meninggalnya bu Mely, setelah tak kurang empat bulan diurus Widya dan Yeni. Panjang umur lima bu Mely, karena hendak melihat buah sifat laku mereka.
Siang itu, Bu Yeni, yang sekarang lebih dikenal oleh orang-orang dengan 'Bu Hajjah', sedang berbaring, tidur-tiduran di atas sofa merah, dikelilingi hamparan baldu biru made in Arab Saudi itu.
Ia baru tiga bulan lalu pulang dari tanah suci, selesai melaksanakan manasik rukun Islam kelima itu, dibiayai anaknya nomor dua. Sampai kini, Bu Yeni masih menempati rumah peninggalan almarhum ayahnya, Datuk Bahar dan almarhumah Bu Mely. Pasalnya, rumah warisan itu sudah dibeli anaknya sulungnya, setelah disepakati ahli waris lain. Uang hasil penjualan dibagi-bagikan pada yang berhak menerima. Rumah itu pun kini, tidak lagi bercorak melayu, tapi sudah empat kali mengalami pemugaran, sampai sudah jadi gedung bertingkat. Sebagian besar malah sudah terbuat dari beton dan kaca.
Sehari-hari Bu Yeni diurus anaknya yang ketiga, perempuan. Sedang, anak bungsunya, Abdi, yang sewaktu berusia tiga tahun dulu teman bermain dan berkelahi neneknya mendiang Bu Mely, yang mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Siang yang menyenangkan dan dzikir Bu Yeni tiba-tiba terganggu oleh suara salah seorang keponakannya, Nadra, anak Bu Rina yang punya beberapa anak laki-laki yang bergajul lagi berandalan, dari pintu utama rumah itu.
"Bibi! Bibi! Emak saya Bibi!" Seru Nadra dengan nafas terengah-engah, sudah pun tinggal satu-satu. Matanya bengkak bekas menangis.
Bu Yeni meminta Abdi mengontak adiknya, bu Widya, dokter sekaligus dosen ternama di sebuah Perguruan Tinggi di kota, lewat telepon genggem (HP) nya, disuruh segera datang ke kampung. Ia segera bangkit, sebentar merapikan kain sarung, berbenah-benah lalu melangkah menyusul Nadra.
"Ada apa, Nadra? Kenapa dengan Mamamu?" Tanyanya saat menuruni beberapa anak tangga. Ditanya bukannya menjawab, Nadra justeru menangis.
"Mari….mari, kita ke sana. Sudah…sudah hentikan tangismu, Nak," ketus Bu Yeni. Lalu keduanya bergegas dengan langkah agak tegap, cepat-cepat menuju rumah Bu Rina yang hanya berkelang empat rumah.
Setiba di rumah Bu Rina, tampak orang-orang sudah berkerumun, hingga menyulitkan mereka melihat Bu Rina.
"Awas…! mau lalu…! beri jalan! Beri jalan!" Seru Bu 'Hajjah', padatnya orang kampung yang berlapis-lapis bikin sesak rumah, segera terkuak, terkuiskan sampai akhirnya Bu Rina tampak tergolek kejang-kejang. Bu Yeni dan Nadra pun mendekat.
Ini bukan pertama kali Bu Rina mengalami hal seperti ini. Sejak 10 tahun terakhir, ia tampak mengalami penderitaan cukup berat. Tak bisa tenang di rumah anak sendiri. Ia sudah coba mengganti-ganti tempat menumpang di rumah anaknya yang lain, selain Nadra. Tetapi sama saja, bahkan lebih membuatnya tertekan. Cucu-cucunya, selalu bikin onar dan membuat sakit jantungnya kumat. Ada yang pemabuk, tiap pulang mabuk-mabukan dari mana-mana, merusuhnya di rumah. Ada yang bajingan tengik, penjambret kampungan hingga rumah itu sering didatangi polisi; dan ada pula preman simpang yang suka berkelahi, hingga ia sering terkejut, menjerit-jerit mendengar suara lemparan batu di kaca jendela dan bubungan rumah.
"Emakmu mana?…sudah datang?" Tanya Bu Yeni pada Astri, anak Bu Devi, beberapa saat setelah Bu Rina dibawa ke kamarnya. Dokter pun sudah datang dan memeriksa kondisinya.
"Emak saya? Mana sempat dia ke mari, Makcik! Kerjanya sepanjang hari cuma mencari makan. Itu pun susah juga, payah dan morat-marit juga periuknya. Kurasa malam nanti baru dia pulang! Kami, anak-anaknya, apalah yang bisa kami bantu, kehidupan kami pun pas-pasan," tutur Astri ringkas.
Sementara di ruang tengah, keluarga Bu Rina sudah banyak berkumpul. Bu Widya bersama beberapa anaknya yang sarjana juga sudah sampai. Mereka datang dengan mobil pribadi 'tahun tinggi', pemberian anaknya yang kini melanjutkan pendidikan di luar negeri. Selain itu, anak-anak Pak Udin yang janda-janda dan duda pun ada, turut menjenguk Bundai Rina, begitu mereka memanggilnya.
Pak Udin sudah meninggal dunia tahun lalu, karena terserang kanker paru-paru, meninggalkan sembilan anak, semua sudah berumah tangga, lima di antaranya broken home dan merasakan pahitnya perpisahan. Anaknya kedua, Vanny yang beranak tiga itu, adalah seorang janda ditinggal mati selagi anak-anaknya masih kecil-kecil. Anaknya kelima, Linda, bercerai setelah beranak 4, sekarang sudah pun menikah lagi dengan seorang buruh, tetapi tinggalnya di luar negeri, sekali setahun pun belum tentu bisa bertemu. Anaknya kedelapan, laki-laki, Toni, baru-baru ini bercerai, anak-anaknya pun bercerai berai; satu diasuh mertuanya, satu diadopsi kakaknya yang mandul, dua lagi dalam asuhannya; sedang istrinya, tak tahu ke mana rimbanya; kabarnya, sudah jadi wanita 'jalang'. Terakhir, anak mendiang Pak Udin, laki-laki, Heru; kini jadi pria patah hati, karena tak direstui dan ditentang habis-habisan oleh Bu Rani untuk menikah dengan gadis yang ia cintai.
Setelah diberi suntikan dan beberapa butir pil, Bu Rina sudah tampak agak tenang, dokter rawat jalan pun pulang. Tetapi subuhnya, Penyakit Bu Rina kumat lagi. Esoknya, ia sudah tiada lagi untuk selama-lamanya, meninggalkan cucu-cucu yang dimanjakannya sejak masih kecil.

Tanjung Balai, 2004





Pena Seorang Pujangga

“Tiga ribu Ringgit!...Tiga ribu Ringgit....!” Terdengar suara seorang laki-laki berperut buncit berulang-ulang seperti setengah meracau, sambil menggoyang-goyang lonceng kecil di tangan kanannya demi menarik hati orang.
Suaranya terdengar nyaring di kisi-kisi riuh suara para pedagang lain yang sedang menjajakan dagangan masing-masing.
Seorang pujangga dalam sebuah pengembaraan telah terbawa langkahnya ke sana, ke sebuah pasar yang sangat ramai di negeri harapan, Pasar Manusia orang menyebutnya.
Mata batin sang pujangga terbelalak. Dia mencubit lengannya sendiri seolah tak percaya, jangan-jangan dia sedang bermimpi.
“Tidak! Ini memang pasar manusia yang sebenarnya, tempat manusia diperjualbelikan! Manusia yang berdagang, manusia juga yang didagangkan,” batinnya.
Manusia memang bermacam-macam hakikatnya. Ada yang terbuat dari kayu jati, ada yang terbuat dari logam hitam, ada dari emas, ada pula yang dibuat dari kain perca, serta ada juga yang diciptakan dari batu; semuanya tergantung terbuat dari apa hati masing-masing.
Sang pujangga sudah dikenal di beberapa negeri. Beberapa gelar kebesaran malah pernah dinobatkan kepadanya. Tetapi sang pujangga tak peduli. Tak penting semua itu, karena dia insyaf, dia hanya seorang pengembara.
“Tuan. Orang telah menggadaikan hidupnya yang muda kepada saya,” laki-laki berperut buncit berujar. “Dari orang ke orang, dari tangan berpindah tangan, harga manusia memang tidak akan berubah, tetap seperti pertama kali dia dijual oleh bangsanya sendiri. Makanya Tuan, pasar ini selalu ramai, karena berdagang manusia tidak akan ada ruginya. Tapi biar Tuan tahu, ada dua hal yang membuat harganya menjadi sangat mahal dan bisa menjadi sangat murah pula.”
“Apa itu?”
“Masih perawan dan sudah terlalu berumur!”
“…!!!!!!” Keringat dingin berkeluaran dari dahi sang pujangga yang tidak perlu dikernyitkan, karena dia cukup berhasil menyembunyikan kebencian dan kemuakannya. “Ini pertanda kematian yang buruk!” Batinnya berseru.
Huah...! Semua orang menjadi pedagang. Semua orang menjadi pembual menjajakan orang lain. Karena uang, semua yang muda tergadaikan dengan banyak cara, bahkan bisa dijual lagi dengan cara-cara yang sama. Sama-sama keji.
Satu persatu wajah-wajah pedagang ditatapnya lekat. Pujangga seperti mengenali semuanya, tetapi keadaan telah membuatnya ragu. Semuanya tampak seperti bukan pedagang dan pembeli, namun kenyataan mereka kini sedang bertransaksi di Pasar Manusia membuat segala tuduhan menjadi tak terbantahkan.
Ada lagi tak bisa dibantah. Sang pujangga tetap tidak ragu mengeluarkan pena kedilan dari balik jubahnya. Lembaran kosong sejarah mulai dibentangkan, tintanya menetes-netes pada carikan-carikan waktu. Pujangga berjubah kebebasan pun melemparkan syairnya ke wajah-wajah pedagang itu tanpa lupa membubuhi kata-kata mukjizat yang biasa dipakai para pujangga sepertinya:
“Oknum polisi diduga terlibat, petugas Disnaker dianulir turut bermain, pengusaha bus lintas propinsi disinyalir bekerjasama, oknum lurah anu dan camat anu terindikasi palsukan identitas TKW, pejabat imigrasi diminta diperiksa soal dugaan pemalsuan dokumen...” Begitu seterusnya dan seterusnya.
Syair-syairnya pun meloncat jauh ke kejauhan zaman, menembus waktu berpuluh-puluh tahun sesudahnya. Menyapa ribuan nama puteri Indonesia nan elok, yang tergadaikan di Pasar Manusia, yang tak tersebutkan satu per satu.
Laila Manja, itu nama salah seorang puteri pertiwi yang pernah tergurat dalam berjuta-juta syairnya. Itu pun ia harus menulisnya dengan jari-jari yang bergetar. Laila Manja yang remaja, Laila Manja yang terancam hukum mati.
Syahdan. Tertulis dalam syairnya, karena Laila Manja, pujangga yang jiwanya hancur didera cinta tak berbalas itu tiba-tiba hidup kembali. Namun tak seorang pun yang mengenalnya, karena dia telah bersalin wajah. Bajunya kini adalah keyakinan. Dengan keyakinan itu dia menyeruakkan diri di antara lautan sufi. Dia pun berdiri sambil berteriak begitu lantangnya di atas sebuah gundukan tanah terjal.
“Aku sudah menulis kisah Laila Manja,” cetusnya lantang, membahana ke seantreo pertiwi dan negeri harapan.
“Siapa Tuan? Mana pena Tuan yang telah menuliskan tentang riwayat ratu pembela kehormatan itu! Apa tuan tidak tahu, kisahnya akan segera berakhir di tiang gantungan.” Seorang sufi tiba-tiba berfatwa sambil menatap lekat sang pujangga seperti sedang mewaspadai sesuatu. Bersamanya hadir 12 sufi agung yang disegani dan yang kurang disegani.
Sang pujangga tak segera menjawab. Tubuhnya tak bergeming. Telapak kakinya seolah menancap ke bumi pertiwi. Hanya jubah putihnya yang berkibar-kibar menambah kerisauan para duta pertiwi yang ikut terbeli di negeri harapan.
Ribuan jiwa perempuan muda yang tergadai di negeri harapan memandangnya riuh rendah, seperti desau angin laut selat Malaka yang sedang menggoda negeri Selangor Darul Ihsan.
“Para sufi bukan malaikat pencabut nyawa! Tidak! Laila Manja milikku, aku telah meminangnya, tidak seorang pun bisa menggantungnya, para pujangga harus selalu memujanya, dia pembela kehormatan bumi pertiwi,..Langkat tanah melayu!” tandas pujangga.
Berdesir darah pertiwi. Berdebar jantung para pengemis yang menyamar menjadi duta pertiwi, yang hanya pandai menyematkan lencana kepada para laksamana. Seketika langit dunia pujangga menggelegar, pertanda bumi pertiwi akan segera basah oleh tinta para pujangga!”
Sungai kisah telah dialirkan dari hulu. Tetapi tebing Kajang enggan menggoyangkan rerumputan. Bantaran sungai begitu dangkal ditimbuni kerikil-kerikil cadas.
Mata pena sang pujangga tetap menari di alam maya, sehingga para sufi tak bisa melihatnya. Tetapi bisa dirasakan setelah sungai sejarah mengalirkan keadilan, membuat para sufi percaya, pena pujangga selalu terbuka.
Laila Manja telah merana, setahun termenung di tepian tebing Kajang. Jiwanya hampa hanya berserah pada nasib. Mata pisau telah ditancapkan ke ulu hati. Yang hendak membunuh akhirnya terbunuh. Tetapi negeri harapan masih sepi dari keadilan bagi perempuan-perempuan pertiwi yang digadaikan.
Wahai Laila Manja, tak ada kini tempat bermanja. Tanganmu kini masih terbelenggu. Hati Laila Manja meratap, “Datang datanglah wahai ibu, sambangi Laila di sudut ajal, bulir-bulir air mata ini wahai para jiwa pengasih, tak lagi pandai mereka-reka semangat palsu,” ratap Laila tak kuasa menghibur dirinya.
Setahun sudah langit bersaksi, di sini, di negeri harapan telah terjadi pengkhianatan kepada pertiwi oleh anak-anaknya sendiri. Laila Manja, sang ratu pembela kehormatan dibiarkan merana di negeri harapan. Tak bisa lagi Laila berhias diri. Keadilan tidak ditegakkan. Pengemis tetap mengemis. Sampai akhirnya pujangga menuliskan tinta emasnya di atas beledru keadilan:
“Yang berlidah bengkok harus diluruskan, yang berlidah tumpul harus dipatahkan, yang berlidah tajam harus ditancapkan di tebing-tebing terjal Kajang...”
Segera angin menyambut, burung-burung pun berkicau, para pengemis berhenti mengemis, mulai belajar menjadi laksamana.
Pujangga mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membuat para jiwa perempuan muda yang tergadai ikut tersanjung, tetapi tak urung bertambah jua rasa takzhim pada negeri pertiwi.
“Sungguh mahal keadilan di negeri harapan, Tuan! Apalagi lidah pertiwi tak akan mengeluarkan suara apa pun di negeri harapan. Maka, patutlah Tuan membuka peti kekayaan yang selama ini tuan tutup rapat untuk jiwa-jiwa yang tergadai, untuk meminjam lidah yang tajam, agar sanggup mencakar tebing Kajang,” sang pujangga seperti bertitah layaknya raja.
Senantiasalah sungai mengalir. Laila Manja sudah tidak lagi merasa sepi. Tiang gantungan telah patah, walau pun tebing Kajang masih terjal. Laila masih terpasung kebebasan jiwanya dalam mimpi buruk dua puluh tahun dibelenggu tuduhan membunuh yang seharusnya terbunuh.
Pujangga tak pernah berhenti menyelami jiwanya yang selalu haus akan keadilan. Para sufi sudah mulai melafalkan zikir-zikirnya. Laksamana mulai membentangkan layar. Alam penuh irama kecapi.
Langit negeri harapan mendadak gelap beberapa saat. Seluruh pujangga menancapkan mata pena mereka di tebing Kajang. Sungai dari muara berbalik ke hulu, pertanda keadilan akan ditegakkan. Sebab suatu sebab ditarik ke asal muasal, walau langit tidak lagi bersaksi.
Lidah tajam mulai tergigit tuannya. Tinta hitam telah mencoreng wajah pendosa yang mengaku sebagai sufi, sehingga tampak siapa penjual ludah, siapa penjual harga diri, siapa pembeli surga, siapa yang dinanti bidadari. Lepaslah segala belenggu. Tebing Kajang terkikis arus keadilan.
Laila manja membasuh wajahnya. Air sungai yang mengalir di depannya dijadikan tempat bercermin. Burung-burung mengitari taman di hilir. Laila manja sampai di muara, disambut laksamana untuk dibawa menyeberang pulang ke tanah pertiwi, Langkat tanah melayu.
Para sufi menyambut dengan puja-puji kepada Maha Pengasih. Laila manja dibela pujangga, dibawa pulang Laksamana. Ibu pertiwi terharu. Langit bersaksi, ratu pembela kehormatan didoakan para sufi.
Bersama sungai kedilan mengalir, pujangga menuliskan syair terbaiknya di atas air, tentang yang muda yang merana:
Aku seperti malaikat subuh yang turut ke kaki langit, menjuntaikan bait-bait elegi perempuan Indonesia ke dalam lembaran-lembaran nasib dalam memenuhi impiannya ke negeri-negeri harapan.
Seribu bidadari pun menari di atas permadani keperihan, tapi perempuan Indonesia sangat tabah menahan siksa. Tak peduli sejuta nista mengalir di batin, membuncah, tetapi senyum pahit tetap terapung di antara riak-riak kerutnya wajahnya
Wahai dewi – dewi yang menjadi suri! Aku berkisah tentang perjalanan hidupmu, sudilah kau kembali hidup, bersinar dan kembali menjadi gugusan bintang bagi anak-anakmu. Wahai dewi-dewi yang menjadi alas kaki! Jangan lagi kau nyanyikan lagu Indonesia, ah kerdilnya, di mata tuan-tuan pembeli manusia yang bersinggasana di negeri-negeri harapan
“Matielah tanahkoe, matielah ngeriku, bangsakoe, ra’jatkoe, semuanja...tidoerlah jiwanya, tidurlah badannya..., oentoek Indonesia..., ah begitu terasa kerdilnja”
Sakit sekali rasa hatiku wahai Tuan, karena Tuan telah patahkan tulang belulang bangsa kami, Tuan telah menjadikan pilar-pilar negeri kami tercerabut lalu Tuan jadikan serpihannya menjadi pasak bagi kandang-kandang ayam tuan.
Tahukah Tuan, kini tak ada lagi payung penepis terik dan hujan di tanah ini, sehingga ripuklah sudah segala kenangan di segara ini. Dan tahukah Tuan, anak-anak kami tergolek kerinduan sentuhan embun, karena Tuan telah merampas subuh kami.
Dia ibu anak-anak kami Tuan, dia jua lah selendang sutera keluarga besar kami. Dia telah membinasakan masa muda kami karena negeri Tuan, dia pun telah menggadaikan budaya dan harga diri leluhur kami karena hendak mengadu nasib setelah terpandang tangan Tuan yang melambai-lambai.
Ke mana lagi kami hendak menanamkan cinta kami, ke mana pula kami mau menitipkan janji kami.
Segala desa tak lagi berbunga, tinggal tangkai teruntai-untai tak berpuan. Segala kota telah sepi tak berpenghuni, tinggal debu menyelimuti malam.
Aku sudah seperti seorang pencari keadilan yang tengah mencari makna hukum, juga seperti pengembara yang tengah dilanda rindu dendam terkenang kampung halaman.
Tapi ketahuilah Tuan, aku sebenarnya raja yang dikucilkan oleh para pengkhianat dari memeluk rakyatku, aku sedang sakit hati, aku sedang dirasuki iblis kemarahan.
Jantungku adalah api, darahku adalah bara. Aku akan membakar segala pengkhiatan ini. Aku akan menghanguskan segala kesombongan Tuan. Aku pasti kembali bersama anak-anakku.

Januari 2007



RIWAYAT BUNGA
Aku tak tahan melihat Bunga. Ia tersenyum begitu manisnya walau bibirnya pucat. Sepertinya ia sedang menertawakan aku, semuanya, juga kehidupan.
Memang, ia sudah menemukan apa yang diinginkannya. Ketenangan, kesunyian dan keabadian kini sudah ia temukan. Segala kenistaan, cercaan, keperihan, keterasingan diri dan senyum kepalsuan pun berakhir sudah.
Kemarin, baru saja ia berlari sambil menyingsing longdress, menenteng sepasang sepatu hak tingginya, lalu memburu ke arahku, bersembunyi di balik rapuhnya tubuh ini.
“Mas, Mas, bawa saya pergi ke mana saja Mas suka,“ ucapnya diselimuti takut yang teramat menggetarkan sendi-sendi tulang.
Sesaat beranjak dari simpang jalan durjana itu, beberapa personil polisi datang, juga dengan berlari, mencari, hendak menertibkan perempuan berdandan menor itu.
Bunga seperti bermimpi dan seolah baru menemukan kehidupannya. Kami menghabiskan separuh malam tanpa menyentuh tepian fajar. Jalan yang mesti kami lalui telah dilalui.
“Terima kasih, Mas,“ kata Bunga setelah mulai bisa mengatur nafas.
Aku hanya mengangguk kecil sambil memejamkan mata. Lalu kami makan apa yang bisa dibeli orang-orang kecil. Bunga makan begitu lahapnya sehingga membuatku berhenti menyuap. Ingin kutanyakan, sudah berapa hari ia tidak makan tapi aku segan pada perempuan berambut sebahu itu.
“Saya datang dari kampung. Jauh dari sini. Adik saya banyak. Ada empat, masih kecil-kecil udah pisah. Wong dulunya saya sing paling gede. Dulu semuanya tak bawak ke sini. Ayah udah meninggal taon kemarin. Tak ada biaya beli obat. ‘Mak saya ditangkap gara-gara jual ganja disuruh sama Mas Tejo,” ujar Bunga mulai singkap riwayatnya si sela-sela makan malam itu.
Kata Bunga, ia tak tahu di penjara mana ibunya berada, karena ia belum begitu mengenal kota ini selain dari sisi-sisi kebencian.
Segala luka mulai terkoyak kembali. Segala ruang-ruang di kisi ingatannya berdarah, berdarah, busuk mengeluarkan airmata kemuakan dengan kepalsuan hidup. Bunga terpekik mengeluarkan tangis seperti lolongan anjing. Pemilik warung tempat kami makan sampai takut dibuatnya. Lalu Bunga diberi minum air putih.
Kubiarkan lama Bunga terdiam seperti hendak menyempurnakan ingatannya. Sejak hari pengharapan sampai hari kematiannya.
Hari pertama ia bersama keluarga datang ke kota ditandai dengan kampanye partai menghadapi Pemilu 5 tahun lalu. Orang-orang tampak begitu bersuka cita, walaupun kebanyakan bukan mendengarkan “khotbah” berapi-api, melainkan cuma berebut baju kaos dan nasi bungkus. Apalagi ada musik kibotnya yang mengundang artis. Lumayan, bisa bertemu artis walau hanya nonton dari jauh.
Kata Mas Tejo di depan keluarganya, nanti Bunga akan dipekerjakan di hotel atau bisa juga di plaza. Tetapi sudah dua minggu dia tak nampak, malah membiarkan mereka tinggal di rumah pengap itu. Kadang dia memang menitip uang. Tapi, mana mungkin mereka bisa hidup dari uang segitu.
Tak lama setelah itu ayah Bunga sakit. Tapi Mas Tejo belum nampak. Kemarin pulang sekejap tetapi pergi lagi membawa ibunya. Tak tahu ke mana. Tetapi semalam ia melihat ibunya masuk TV, ia ditangkap sama pak polisi. Rupanya Mas Tejo menyuruhnya menjual ganja.
Gadis berumur 14 tahun itu lari dari rumah jorok itu, membawa ayahnya juga adik-adiknya. Entah bagaimana caranya mereka sudah berada di pusat kota, di pinggiran rel dekat stasiun utama kereta api. Mereka membuat rumah kecil di situ.
Kata Bunga lagi, gubuk dari triplek dan sebagian kardus itu terpaksa harus mereka tinggalkan karena polisi pamong praja datang menertibkan kota dari pemandangan yang kurang mengenakkan bagi para wisatawan mancanegara.
“Nanti, katanya, turis emoh datang. Itu apa namanya, yang ada pestol-pestolnya itu, ya…ya investor, kagak mau ngasih uang sama pemerintah. Bisa-bisa gagal deh, jadi metropolitan. Kan begitu kata Mas Tejo,” terang Bunga.
Menurut kisah Bunga, waktu penggusuran terjadi, ia sempat ngajak ribut. Soalnya, mereka tak mau kasihan sama dia dan ayahnya yang sedang sakit parah. Waktu itu memang adik-adiknya masih bersamanya. Tetapi, ketika ada kejadian berantem, pukul-pukulan dan lempar-lemparan, Bunga tak lagi melihat adiknya, karena ia harus memeluk ayahnya yang sempat terinjak-injak waktu ada orang berseragam mencoba membakar rumah mereka.
Kata si Ogem, laki-laki pemulung itu, adiknya yang paling kecil dibawa si Mpok. Yang lainnya dia tidak tahu.
Sedangkan menurut Wak Karung, adiknya ada yang dimasukkan ke sebuah truk. Cuma dia tidak tahu dibawa ke mana.
Rumah Bunga sudah rata dengan tanah. Lantas di atasnya ada tulisan “Dilarang Masuk.” Tembok setinggi dua meter dibangun di sekelilingnya. Ayahnya yang meninggal dunia saat kejadian itu terpaksa ditinggalkannya begitu saja, karena tidak ada yang mau mengurusnya. Untunglah, besok-besoknya ada yang menemukannya di balik tembok. Barulah ayah Bunga dibawa ke kamar mayat di sebuah rumah sakit.
“Di TV kan ada ditayangkan. Mayat tanpa identitas itulah ayah saya,“ jelas Bunga kepada ibu-ibu bergiwang dan berkerabu besar yang mulai menuntun gadis tamatan SD ini ke sebuah barak. Orang memanggil perempuan setengah baya itu,“Mami.“
Sudah lima tahun Bunga merindukan adik-adiknya. Mungkin sekarang mereka sudah besar-besar. Di atas bekas rumah mereka pun kini sudah berdiri megah hotel berbintang yang dibangun oleh seorang pengusaha yang banyak duitnya.
Kata Mami kepada Bunga, wong cilik tak akan pernah menikmati hidup, kecuali harus berani. “Makanya kamu harus berani,“ katanya.
Lalu Bunga mengimbuhkan, Mami pun mengajarinya bagaimana harus menyambut tamu, terutama kalangan berduit. Misalnya seperti kata Mami, para pejabat dan pengusaha.
“Semula saya benci setiap bertemu dengan kalangan atas yang dimaksud Mami. Soalnya merekalah yang menyebabkan kematian ayah saya. Rumah kami digusur pun karena tuntutan kemewahan dan kesombongan mereka,“ tutur Bunga.
Diimbuhkannya, semula ia berfikir, mereka itu bajingan, penipu dan anggar kekayaan. Tetapi sejak jumpa Om Dedi, fikirannya berubah. Ternyata di antara mereka da juga yang baik. Soalnya, Om Dedi sering membawanya jalan-jalan. Bahkan, Om Dedi lebih sering mendatanginya ketimbang istri sendiri. Belakangan, malah Om Dedi menceraikan isterinya.
“Mami pun semakin sayang pada saya, karena om Dedi juga baik padanya. Mami bisa belajar untuk tersenyum seperti saya karena Om Dedi. Saya juga punya baju cantik, perhiasan yang bagus-bagus, alat-alat solek yang mahal karena Om Dedi juga,“ begitu Bunga menceritakan riwayatnya panjang lebar.
Aku terdiam ketika Bunga menutup wajahnya. Lalu ia menjerit lebih keras lagi. Pemilik warung pun terkejut lagi dibuatnya.
“Tidaaaaak...! Tidak! Dia pasti kau! Pasti kau orangnya!“ teriak Bunga.
“Bunga! Tenangkan hatimu, Bunga!“ bisikku sambil mengelus bahu Bunga yang mulai berguncang. “Sudah, sudah. Nanti semuanya akan berakhir, Dik,“ lanjutku.
Lalu dengan tisu yang dikeluarkannya dari tas kecil di tangannya diusapnya air matanya sendiri.
“Kamu pulang, ya?“ tawarku. Bunga menggeleng. “Ayolah Bunga, biar ku antar sampai simpang,“ ajakku. Lagi-lagi Bunga menggeleng.
Matahari baru naik sepenggalahan ketika warung itu dikerumuni banyak orang. Jantungku berdegup tak menentu. Rasa tak enak mendera perasaanku. Kudekati warung itu selangkah demi selangkah. Orang-orang berlapis kusibakkan, kudorong, kudesak, kutepis, berusaha menyelinap agar aku bisa segera melihat apa yang terjadi.
Bunga tergeletak di pojok warung. Sepasang matanya yang indah terbelalak. Tetapi bibirnya seperti tersenyum puas. Aku tak tahan melihat senyuman itu.
Di sebelah Bunga terkulai bersimbah darah sesosok mayat laki-laki yang dipanggil orang Mas Tejo, pemilik warung itu.
Polisi datang dan menemukan secarik kertas di gengaman Bunga. Kertas itu ternyata berisi surat yang tak jelas ditujukan buat siapa. Begini bunyinya:
Terima kasih Mas, telah membawa langkah saya ke warung ini. Mas telah mempertemukan saya dengan orang yang paling bertanggungjawab dengan kehancuran hidup saya. Dialah Mas Tejo, yang saya ceritakan pada Mas tadi malam. Meskipun dia sudah lupa dosa-dosanya pada saya, tetapi saya tidak.
Mas...walau Mas belum saya kenal, tetapi Mas adalah orang yang paling saya percaya menyampaikan pesan saya ini.
Mas yang baik…tolong sampaikan salam saya pada ustadz-ustadz dan para pengkhotbah bahwa saya tidak bisa terima apa yang mereka tuduhkan. Coba Mas fikir, masa saya dibilang akan masuk neraka. Apa karena saya ini pelacur?
Ya. Memang saya ini pelacur. Tetapi setiap noda yang saya buat, dosa yang menguap dari harum parfum murahan di tubuh ini harus dibayar mahal oleh pejabat pemerintah yang mengeluarkan kebijakan penggusuran itu. Juga pengusaha itu. Masa Mas, dia tidak mau mencarikan rumah untuk kami padahal duitnya berkepok-kepok. Saya bersumpah akan menuntut mereka di Pengadilan Tuhan.
Satu lagi Mas, sampaikan salam saya pada adik-adik saya. Katakan, saya rindu mereka. Saya yakin Mas akan mampu menemukan mereka semuanya, bisa di terminal-terminal, di tengah-tengah lokasi proyek pembangunan yang bahan-bahan bangunannya dipikul di bahu mereka. Atau Mas akan bisa mencium keringat mereka di antara ributnya suara becak dengan mesin tua, atau kalau Mas tak juga menemukan mereka di sana, Mas boleh cari ke penjara-penjara. Tolong ya, Mas! Cintamu, Bunga***

1 comment: