Thursday 21 May 2009

Gelar dan Nilai Seorang Kepala Negara: Manifesto Politik Surat 110, al-Lahab ayat 1-5

Bila ditelusuri lebih jauh makna-makna dalam al-Quur’an baik melalui kacamata sejarah, sosial budaya, sains dan teknologi, niscaya akan banyak ditemukan berbagai kandungan ayat yang bersisi segala hal yang tak terhitung banyaknya sesuai dengan susut pandang yang digunakan.
Ditinjau dari segi politik, surat al-Lahab mempunyai sejumlah konsep yang dapat dijadikan paradigma berpolitik, karena banyak faktor-faktor pelanggengan kekuasaan, teknik hagemoni dan sebagainya terkandung dari ayat-ayarnya.

Dari sejumlah kalimatnya saja, terdapat beberapa kata kunci (keyterms) yang dapat dimaknai ke arah itu, antara lain: “Yada_ni” yang berarti kedua tangan; Abu Labah, artinya “Bapak Gejolak”; al-Mal, berarti harta (materi); “Kasab” berarti upaya atau usaha; “Hammalah al-Hatob” yang artinya, pembawa kayu bakar dan “al-Masad” yang dapat berarti belenggu karena dikaitkan dengan kata sebelumnya “Jie_d” yang berarti leher.Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat al-Lahab (110): (1) Celakalah kedua tangan Abu Lahab maka celakalah ia (2) Tiada akan bermanfaat dari padanya hartanya dan apa yang ia usahakan (3) Kami akan melemparkannya ke dalam api yanbg menyala-nayala (4) Dan isterinya adalah pembawa kayu bakar (5) Di lehernya ada tali dari belenggu neraka”.

1. Kekuasaan

Pada ayat pertama yang berbunyi: “Celakalah kedua tangan Abu Lahab maka celakalah ia” menyiratkan bahwa Abu Lahab sebagai seorang pemimpin yang menggunakan kedua tangannya untuk menghalang-halangi Nabi Muhammad SAW. Dalam banyak riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah pernah dilempari tahi onta oleh Abu Lahab pada saat beliau Sholat, mau dibunuh dan sebagainya. Kiranya, manalah mungkin Abu Lahab berani mengacung-acungkan tangan kalau dia orang yang biasa-biasa saja seperti tukang beca, Jufri atau petugas kebersuhan (cleaning service/office boy) yang tak punya pengaruh apa-apa. Tentunya, arogansi muncul karena kedua tangannya punya kekuatan tertentu.

Asbabun Nuzul surat ini adalah ketika Rasulullah berdakwah kepada pemuka-pemuka Qabilah (suku) Quraisy, khususnya di tengah-tengah pihak keluarganya dari Bani (keturunan) Hasyim. Abu Lahab tiba-tiba mengacung-acungkan tangan, menonjok-nonjok sambil mencerca beliau, “Celaka Muhammad…Celaka Muhammad”. Maka turunlah ayat ini sebagai dukungan psikologis dari Allah kepada Rasulullah SAW, bahwa sebenarnya yang celaka adalah Abu Lahab.
Abu Lahab sendiri adalah gelar atau laqob yang biasa digunakan oleh orang-orang Arab. Sehingga nama sebenarnya malah sulit ditemukan karena saking popolernya gelar yang diberikan kepadanya. Misalnya, Abu Jahal yang berarti Bapak Kebodohan adalah gelar bagi Umar Bin Hisyam, selain juga digelar sebagai Abu Hukkam atau Bapak kebijaksanaan, ketika jaya-jayanya dia berkuasa di Makkah saat itu. Padahal Umar Bin Hisyamlah namanya yang sesungguhnya.

Demikian pula Abu Thalib yang berarti Bapak Pelajar, disebabkan ketinggian ilmu dan keluasan wawasan yang dimilikinya saat itu, sehingga dia dikagumi dan disegani sebagai tokoh intelektual di masanya. Begitu pun dengan Abu Hurairah yang berarti Bapak Kucing, karena kebiasaannya memelihara kucing, sehingga rumahnya dipenuhi bayak kucing.

Ayat ini mengandung makna yang umum, artinya bukan hanya Abu Lahab saja yang celaka namun setiap orang yang menghalang-halangi dakwah Islam pasti akan dicelakakan Allah sesuai dengan kaidah Ushul “Al-Ibratu bi umumil lafzhi la bi khusususis Sababi”; artinya, pelajaran diambil dari umumnya lafazh, bukan dari sebab yang khusus (dikarenakan sebab tertentu).
Nah pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa dia (Abu Lahab) diberi gelar sebagai bapak gejolak (gelora). Abu artinya ayah, Lahab artinya gejolak api. Jawabnya tentu tak jauh beda pada masa-masa sekarang ini. Setiap pemimpin kiranya selalu diberi gelar-gelar tertentu. Tak usah jauh-jauh, di negeri Indonesia misalnya, kelima-lima presiden Indonesia memiliki gelarnya masing-masing sesuai dengan pamor, prestasi dan kemapuannya yang menonjol dalam menggagas, mensosialisasikan maupun mencetuskan sesuatu.

Presiden Pertama Ir. Soekarno, diberi gelar dengan Bapak Proklamator, karena dialah bersama Bung Hatta yang telah memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Selain itu Bung Karno juga digelar Bapak Penyambung Lidah Rakyat dan “Singa Podium” karena kemampuannya yang luar biasa dalam menggelorakan semangat rakyat melalui pidato-pidatonya yang berapi-api.

Presiden Kedua Jenderal Berbintang Empat (purn) H. Muhammad Soeharto, diberi gelar Bapak Pembangunan karena kemampuannya dalam menggagas Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada saat ia berkuasa, juga karena kinerja kabinet pembangunannya, serta pembangunan sektor ekonomi yang dilakukannya dinilai telah mampu mengangkat ekonomi negara yang sudah hancur total di masa Presiden Soekarno dengan inflasi yang gila-gilaan.
Selanjutnya Presiden Ketiga Republik Indoenesi, Prof. Ir. Ing. Baharuddin Joesoef Habibie yang digelar Mr. Creek atau Bapak keseimbangan, karena penemuannya yang spektakuler dalam bidang teknologi, yakni menemukan keseimbangan pada sayap pesawat pada cuaca tertentu, sehingga pesawat terbang (plane) dapat tetap terbang dalam keadaan normal; penemua yang tidak saja menjadi sumbangsih kepada masyarakat teknologi dunia, namun juga merupakan putera bangsa yang mempu mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia.
Begitu pula Presiden Abdurrahman Wahid yang populer dengan gelar Bapak Prodem dan Bapak HM, karena jasa-jasanya dalam mengkampanyekan perdamaian dunia dan HAM di Indonesia serta menghidupkan sdemokrasi di Indonesia di saat-saat demokrasi nyaris mati di negara ini.
Dan terakhir, Presiden kelima, Ibu Hajjah Megawati Soekarno Puteri yang digelar ibu Wong Cili(ci)k, di saat saat kampaye Pemilu tahun 1999 lalu, dinilai karena berpihaknya kepada masyarakat tertindas saat itu.

Jelasnya, mereka berlima diberi gelar sehebat itu tentu karena mempunyai kekuatan. Terlebih-lebih ketika kekuatan itu menjadi kongkrit yakni, sebuah kekuasaan. Itulah sebabnya ada orang yang diberi julukan Bapak Gejolak Seperti Abu Lahab, karena di masa ia berkuasa, dakwah Islam benar-benar tertindas. Peperangan di mana-mana, memfitnah lebih kejam dari tidak memfitnah sama sekali (sama-sama kejam), permusuhan terjadi di mana-mana, pelanggaran HAM sudah tak kenal peri kemanusiaan lagi. Banyak sahabat-sahabat Nabi yang disiksa dimasanya dengan sangat sadis, baik dengan cara mencincang, menarik anggota tubuh dengan kuda, menyeret orang ditengah-tengah padang pasir. Intinya semua polosok daerah bergejolak. Itulah makanya dia diberi gelar Bapak Gejolak.

2. Ekonomi dan Program Politik
Pada ayat selanjutnya (ayat 2) dinyatakan, “Tiada akan bermanfaat dari padanya hartanya dan apa yang ia usahakan”. Ini menunjukkan bahwa Abu Lahab telah berusaha dengan harta dan program-program yang direncanakan untuk menghancurkan kaum muslimin yang saat itu masih sangat sedikit akibat kekhawatirannya bila Muhammad SAW sewaktu-waktu dapat mengganggu kekuasaannya. Apabila ia mengetahui benar bahwa Muhammad tidak mau berkerjasama dengan pihak pemerintahan Quraisy.

Di negara-negara otokrasi yang dipimpin seorang diktator umumnya selalu menggunakan dua kekuatan dalam mencengkeramkan kekuasaannya. Pertama harta (mal) dan kedua dengan usaha (kasab).

Bicara harta berarti bicara materi. Bicara materi pasti bicara ekonomi. Seangkan bila kita bicara soal usaha, berarti mau tidak mau kita harus bicara tentang badan usaha, program, sasaran (target) dan tujuan serta hasil (output).

Namun inti dari usaha adalah managemen (pengelolaan) dari arti yang menyeluruh secara keseluruhan baik dari segi sitemnya, fungsinya, maupun perangkat-perangkatnya.

3. Neraka

Ayat ketiga surat ini yang berbunyi, “Kami akan melemparkannya ke dalam api yang menyala-nyala”. Menggambarkan sebuah realiti (kenyataan) yang terjadi secara paksa. Di sana ada kata-kata “yashla”. Abu Lahab diriwayatkan gugur dalam peperangan yang ia kobarkan sendiri.

Kata-kata api dalam bentuk “Nakirah” dalam ayat ini dapat merupakan bentuk yang lebih real, berupa kekacauan-kekacauan.

Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW yang amat masyhur dalam menggambarkan rumah tangganya sebagai surganya: “Baiti Jannati” yang artinya, Rumah tanggaku adalah surgaku. Maksudnya, rumah tangga yang harmonis, rukun, damai dan sentausa merupakan wujud surga di dunia ini. Bukan hanya sebatas kiasan. Jadi, tidak ada kata-kata “’adat at-Tamtsil” yang dibuang (mahdzuf) di sana. Karena hadist tersebut berbentuk mubtada’ dan khobar. Dari hadits tersebut billa diambil mafhum mukhalafahnya (pemahaman terbalik) berarti bahwa, rumah tangga yang sering cek-cok, tidak harmonis dan tidak rukun dan damai, merupakan wujud neraka.

Dalam scope yang lebih besar, sebuah organisasi (pehimpunan/jamaah) juga merupakan rumah tangga. Makanya ada Anggaran Rumah Tangganya (ART). Bahkan suatu bangsa atau negarapun adalah sebuah rumah tangga dan dipandang sebagai suatu satu keluarga. Karena ada kepala rumah tangganya, yakni pihak (puak) pemerintahan di tiap tingkatan dari tingkat nasional samapi tingkat lurah/ kepada desa.

Ini artinya bahwa, apabila sebuah negara tidak teratur, rakyatnya tidak pernah merasa aman karena gangguan penjahat di segala bidang dari kelaparan, kekacauan “banyak persekcokan terjadi di mana-mana, itu pun dapat disebut neraka sesuaid dengan pengembangan makna hadits tadi.

4. Pasangan Hidup kepala Negara

Ayat kelima surat al-Lahab berbunyi: “ Dan isterinya adalah pembawa kayu bakar”. Isteri Abu Lahab dikenal dengan gelar Ummu Jamilah (ibu yang cantik) merupakan aktor dibalik layar yang suka menggosok-gosok, menggesek-gesek dan krasak-krusuk terhadap semua persoalan, teruatam lawan-lawan politik suaminya Abu Lahab. Dia juga dikenal sebagai ibu negara yang tukang fitnah, yang menyebabkan masalah semakin besar dengan eskalasi yang semakin meluas.

Memang, sewajarnya bila pendamping seorang kepala negara menjadi begitu penting disebabkan faktor saling mempengaruhi dan interaksi yang terjadi di dalam rumah tangga. Misalnya, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) digagas oleh almarhumah (Allah yarham) Ibu Siti Hartinah yang memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pembangunan ekonomi, bahkan mempengaruhi budaya dan politik ketika itu (orde baru). Itulah makanya, raja-raja di masa dahulu, demi mempersatukan beberapa kerajaan atau kepentingan ekspansi kekuasaan, saling menjodohkan anak mereka.

Oleh karena itu, tidak perlu heran bila seorang kepala negara yang mempunyai pasangan hidup seorang koruptor dapat memberantas korupsi. Bila pasangan hidupnya seorang pesolek, suka berfoya-foya; tak perlu heran bila negara tersebut akan menjadi negara penghasil kosmetik. Begitu pun yang lain misalnya, pasangannya seorang pecundang, mafia, pendendam dan sebagainya, sangat jarang dijumpai tidak mempunyai pengaruh terhadap jalannya pemerintahan yang sedang ia pimpin.

5. Belenggu
Sedangkan dalam ayat terakhir surat al-Lahab ditutup dengan pernyataan, “Di lehernya ada tali dari belenggu (neraka)”. Maksudnya, ayat ini merupakan kesimpulan dari keempat ayat sebelumnya, bahwa yang terjadi pada masa kepemimpinan (leadership) seorang semisal Abu Lahab, pasti terbelenggu dalam sebuah ikatan semu, pandangan hidup semu, yang insya Allah dijamin bakal menjadi penyesalan bagi seluruh rakyatnya. Ketika seorang pendamping pemimpin negara telah mengkalungkan di lehernya kalung “ketamakan’ atau semisal lain haus “darah”, lambat laun cepat atau lambat kebanyakan rakyat akan mengikut; mereka pun akan membelenggu dirinya dengan rantai yang terbuat dari neraka. Mereka tidak bisa keluar dari masalah dan senantiasa diliputi masalah, sampai mereka melepas belenggu itu. Artinya, pemimpinnya harus diganti. Perlu dicari seorang pemimpin lain yang berakhlak mulia dan pasangan hidupnya pun berakhlak mulia pula sebagai mana yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW, dengan Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi SAW) Radiallahu Anhunna, Wallahu A’lam Bissowab.

No comments:

Post a Comment