Thursday 21 May 2009

Masihkah Umat Mengaku Muslim Bersaudara?

1. Persaudaraan Dalam Islam

Mewujudkan dan menerjemahkan kata “saudara” ditengah-tengah kehidupan memang tak semudah mengucapkannya. Banyak orang setiap pidato, ceramah dan sebagainya mengatakan “saudara-saudara sekalian”, tetapi entah sadar atau tidak, entah tau entah tidak atau entah merasakan atau tidak “indahnya” kata itu. Atau mungkin ini hanya sekedar kebiasaan yang lahir karena tiru meniru. Begitu dibuat orang, begitulah yang dibuatnya, sehingga barangkali tidak pernah mengetahui, memahami dan merasakan beratnya tanggung jawab dari “kata saudara” yang diucapkannya.

Oleh karena itu, dalam hal ini perlu dilihat bagaimana persaudaraan itu bisa lahir, dan bagaimana proses menuju persaudaraan dan tahapan-tahapan yang mestinya dilalui, sehingga tanggung jawab sesama orang yang mengaku saudara dapat direalisasikan. Tahapan-tahapan tersebut yaitu :

a. saling mengenal (ta’aruf). Untuk dapat mewujudkan persaudaraan, maka perlu dilakukan saling tukar informasi, tukar pikiran dan saling menghubungkan silaturrahmi, agar kebekuan dan miscomunication sesama umat Islam selama ini dapat dicairkan kembali. Singkatnya, dalam bersaudara, belajar untuk mengenal orang lain atau kelompok lain sangat dibutuhkan.

b. Saling memahami (tahasyum/tafahum). Informasi dan pemikiran yang telah saling diperkenalkan oleh masing-masing komponen umat semstinya tidak dilihat dari sisi perbedaan yang menjadi sumber perpecahan, seperti khilafiyah yang tak kunjung reda. Tapi hendaknya diharapkan agar saling memahami cara pandang dan alat dan media yang digunakan dalam perbedaan yang ada. Singkatnya, tak mau tau maka tak faham. Sebaliknya banyak keinginan untuk tahu akan banyak faham dengan banyak hal.

c. Saling Menyayangi (tarahum). Apabila umat saling memahami dan dapat menerima perbedaan, kelebihan dan kekurangan serta menerima realtas pemikiran dan budaya yang dibangun, insya allah rasa saling menyayangi akan tumbuh ditengah-tengah kita. Benar kata pepatah: Tak kenl maka tak sayang.

d. Saling menolong (ta’awun). Kenapa banyak orang
yang membutuhkan pertolongan,banyk yang menolak memberikan pertolongan,? Jelas karena ada berat hati atau rasa sungkan yang disebabkan karena tidak adanya ikatan batin yang mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya. Dalam hal ini perlu dilihat, pada mana proses tahap menuju persaudaraan itu terputus. Pada proses mengenal, memahami atau menyayangi? Singkatnya, perlu dilakukan sehingga disaat orang lain menolak untuk memberikan pertolongan, tidak ada rasa kecewa. Mungkin tidak ada rasa keterbukaan, kesalah pahaman, ketidak percayaandan tidak sebagainya.

e. Saling Mencintai (tahabbub). Cinta kepada saudara seiman dan seaqidah membuahkan rasa kebersamaan danrasa senasip sepenanggungan. Dalam fungsi boleh beda, tetapi tak terhadap sesama tetap sama. Itulah makanya Rasulullah SAW tak pernah menyebut pengikutnya dengan panggilan anggota, anak buah dan sebagainya, tetapi beliau justeru menyebutnya sahabat lebih menunjukkan ikatan yang tulus yang berisi cinta.

f. Saling membela (Takaful). Inilah puncak dari persaudaran dalam Islam. Darah saudara harus dibalas dengan darah. Kehormatan saudara harus ditebus dengan kehormatan. Apabila saudara disakiti, sakitnya terasa juga kediri. Apabila saudara bahagia dan sejahtera, hatipun ikut sejahtera. Inilah orang-orang yang benar-benar merasakan nikmatnya menjadi seorang mukmin. Hidupnya tak pernah terlantar. Hatinya tak pernah mati dan diharpkan dapat menjadi pemimpin bagi orang-orang yang taqwa. Amin. Sabda Rasulullah SAW “seorang mukmin bagi mukmin yang lain adalah seperti bangunan yang satu sama lain saling menguatkan”.(HR. Bukhari Muslim dari Abu Musa ).

2. Kesatuan Umat
Umat Islam yang bersatu adalah umat yang bersaudara. Persaudaraan umat islam adalah persaudaraan seiman dan seaqidah. Yakni aqidah Islam. Persaudaraan yang satu hati satu jiwa, persaudaraan yang lebih tinggi nilainya dari persaudaraan ikatan darah, kesukuan dan kebangsaan atau saudara karena ikatan perkawinan. Persaudaraan yang bukan hanya sekedar manis dimulut atau disebabkan kepentingan, tetapi persaudaraan yang lahir dari niat suci membangun masyarakat Isalam demi terciptanya ridha Allah semata. Persaudaraan yang lahir dari kesadaran sama-sama bertuhankan tuhan yang satu, agama yang satu dan pegangan hidup yang satu.

Sebaliknya umat Islam yang berfirqah-firqah dan bnerpecah belah adalah umat Islam yang tidak mengenal arti persaudaraan. Mereka kelihatanya satu organisasi, satu perjuangan, satu bangsa, satu partai, satu kepentingan, tetapi hati mereka terpecah-pecah, jiwa mereka takl pernah merasa puas melihat Rahmat dan karunia yang diberikan Allah kepada orang lain, mungkin terbentuk kelebihan dalam suatu hal dan sebagainya. Persaudaraan bagi mereka ini hanya sebatas kepentingan dan janji-janji manis belaka. Sedangkan dalam hatinya penuh dengan maksud-maksud lain demi kepentingan sesaa. Itulah makanya, bagi umat yang mengaku muslim seperti ini sangat langka ditemukan “sidang” atau “rapat” atau musyawarah yang kondusif dengan cara hati kehati, yang terjadi pasti perdebatan, pertentangan faham yang sangat tajam, bahkan saling hujat dan saling sesat menyesatkan dan bid’ah membid’ahkan. Padahal disekeliling mereka banyak yang korupsi, tapi tak ada yang sangup menyatakan langsung bahwa perbuatan itu sesat. Begitu pula kalau ada yang berjudi, berjina, membuka aurat, mencuri, merampok dan sebagainya, justeru tak digubris apalagi berani menyatakan secara terang-terangan inilah perbuatan ayang sesat. Tidak ada. Yang ada apabila ada pengajian yang tidak sesuai menurut selera mereka, ini yang disesatka. Dibilang “pengajian sesat”, meresahkan masyarakat atau barang kali-dituduh keluar dari Islam.

Umat yang bersatu adalah umat yang bertauhid, sementara umat yang terpecahbelah adalah umat yang telah terjerumus kedalam salah satu kategori musyrik. Karena tauhid adalah kebalikan dari syirik. Firman Allah. “dan janganalah kamu menjadi orang-orang yang musyrik. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa kelompok, dan masing-masing kelompok merasa bangga dengan apa yang ada pada kelompok mereka (QS. 30 :31-32 ). Sebagaimana yang dimaksud ayat diatas, jelaslah bahwa orang dikatakan musyrik bukan saja disebabkan karena menduakan atau menyerupakan Allah, karena siapa yang pernah bertemu dengan Allah sehingga sok mampu menyerupakan-Nya? Atau menyerupakan sifat-sifatNya dengan makhluk, seperti menyerupakan Allah yang bersifat al Hakim ( Maha Pembuat Kebijakan ) makhluk dengan cara mencari hakim (pembuat hukum) selain dari Allah sehingga banyak ditemukan hukum-hukum tandingan selain hukum Allah.

Terlepas dari mereka yang tidak dapat diharapkan lagi komitmen keIslamannya, semua sepakat akan hal itu. Begitu pula dengan pemahaman bahwa tidak boleh mensekutukan Allah dengan memuja-muja benda yang dianggap dapat menghilangkan bala atau mendatangkan kebaikan tanpa sedikitpun mengharapkan pertolongan Allah. Umumnya juga sepakat akan hal ini. Tetapi pernahkah dipertanyakan orang musyrik itu KTPnya apa? Idealismenya ada berapa? Kesetiaanya dan kepatuhannya terbagi berapa? Kualitas solidaritasnya sejauh mana? Memang tidak mudah menjawab hal ini. Karena, untuk mendapat jawaban yang lengkap, perlu difahami dan diamalkan surat al-Hujurat yang merupakan pedoman dalam mewujudkan persaudaraan. Firman Allah QS. 49 :11 “sesungguhnyaa orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damailah sesama saudara-saudara kamu….”

No comments:

Post a Comment