Thursday 21 May 2009

Membangun Peradaban di Tengah Kebiadaban

Banyak para tokoh Islam, ulama dan cendikiawan saat ini sedang merancang kembali seperti apa peradaban Islam itu. Ada yang mengatakan peradaban Islam pernah dibangun belasan abad yang lalu, di mana bani Umayyah dan Abbasiyah di mana ketika itu Islam telah mampu membangun imperium di atas hampir 1/8 penduduk bumi. Ada pula sebagian yang merasa pesimis membangunnya kembali dalam kondisi modern seperti ini, sehingga kalangan yang berpendapat seperti ini banyak mencoba menegakkan nilai-nilai Islam di atas fondasi peradaban sekuler.

Perlu diakui, untuk masa sekarang ini tampaknya memang banyak kesulitan untuk menemukan tahapan-tahapan yang akan dirancang oleh umat Islam demi menyongsong kebangkitan kembali umat Islam dan semua perangkat peradabannya. Selain selalu dihalang-halangi oleh musuh Islam di dalam dan dari luar, juga banyak hal yang telah mengalami pengaburan, mulai dari pengaburan sejarah, pengaburan ajaran sampai pada pengaburan istilah Islam sehingga mengena dengan hakikatnya. Apalagi dalam kenyataan yang lebih kontasnya, sebagian umat Islam justeru tidak mencerminkan keinginan untuk membangunkan dirinya dari keterbelakangan, keterpurukan, kebodohan, dan malah terjebak, terbius atau terkungkung dalam pengaruh kebiadaban peradaban lain.

Makna Membangun Peradaban
Untuk mendekati makna peradaban, kita harus melihat kata adab itu sendiri. Adab artinya sangat berdekatan dengan budi pekerti yang baik atau ajaran yang dianut dan dijunjung tinggi dalam sebuah komunitas. Bila adab ini terjaga maka akan lahirlah budaya. Budaya yang dapat dipertahankan dan ditularkan ke masyarakat lain maka terbangunlah peradaban. Jelasnya, peradaban yang hakiki adalah jiwa dari Islam itu sendiri. Sebab pada dasarnya, Islam merupakan sebuah Dien, sedangkan isi Dien adalah pokok-pokok membangun peradaban itu. Dari pengertian dien saja sudah terkandung makna Peradaban.
Dalam lidah Arab, Dien memiliki banyak pengertian antara lain, ajaran, agama, memimipin semisal pada kata “dana ar-rajulu” artinya telah berkuasa seorang pemuda. Dapat pula diartikan menjalankan hukum atau mengatur; serta dapat juga berarti mengikat, membalas seperti pada kalimat “Maliki yaum iddin” dalam QS. 1: 4 dan sebagainya.

Akar kata Dien, juga banyak menurunkan istilah-istilah yang menjelaskan tentang peradaban, seperti kata Madinah, berarti tempat memimpin, kota, tempat hukum dijalankan. Itulah makanya, Yasrib berubah nama menjadi Madinah al-Munawwarah, yang berarti wadah (institusi tempat Dien Islam bersinar). Selain itu, ada juga istilah dien yang berarti hutang, atau sesuatu yang harus dibayar. Di kalangan orang-orang Malaysia juga ada istilah Tamaddun yang berarti peradaban. Demikian pula bila kita berkaca dari sejarah peradaban dunia, sebenarnya semua dibangun dari dasar semangat beragama atau menganut sebuah keyakinan yang merupakan bagian utama dari agama; dan bisa juga sebaliknya dibangun dari semangat menjauhkan diri dari agama.

Kita bisa melihat beberapa peradaban. Peradaban Mesir Kuno dibangun dari ajaran kepercayaan dari dewa-dewa seperti ra, Osiris dan sebagainya. Begitu pula, peradaban Yunani dibangun dari embrio keyakinan terhadap dewa Olimpus dan sebagainya. Peradaban Cina dibangun di atas landasan agama kong Hu Chu, Peradaban Sungai Nil dibangun dari ajaran Hindu, Peradaban ala Samurai Jepang dibangun dari Kepercayaan Shinto, atau peradaban Eropa yang puncaknya kejayaannya dapat kita lihat seperi zaman millenium sekarang ini, justru dibangun dari semangat menjauhkan diri dari agama (ajaran sekularisme), karena agama pernah dianggap telah menjebak dan meracuni manusia dalam ketaatan semu, yang akibatnya Eropa sempat terpuruk di zaman kegelapan. Jelasnya, makna peradaban sangat melekat dalam pengertian ajaran, kepercayaan dan agama. Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang berhubungan dengan ajaran (dien) ini.

Firman Allah QS. 2: 356: “Tidak ada paksakan tentang Dien, sungguh telah nyata yang biadab dari yang cerdas. Siapa yang membangkang Thagut dan beriman kepada Allah, maka sebenarnya ia telah berpegang teguh pada ikatan yang amat kuat...”.
Firman-Nya lagi, QS. 3: 19. “Sesungguhnya Dien yang direstui Allah adalah Islam, dan tidak berselisih faham orang-orang yang diberi (pengetahuan tentang konsep) al-Kitab kecuali setelah telah datang kepada mereka pengetahuan lalu saling dengki di antara mereka. Siapa yang menentang ayat-ayat Allah. Maka sesunggunya Allah Maha cepat perhitungannya”.

Peradaban di tengah Kebiadaban
Kebiadaban merupakan ciri masyarakat tanpa hukum, barbar, bejat tak berperikemanusiaan, tak berbudaya dan beradab. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya terjadi pelanggaran hak orang/ kelompok lain dengan sewenang-wenang, baik menyangkut hak hidup, hak ekonomi, hak sosial dan sebagainya. Contohnya, menjual bangsa sendiri dengan harga yang murah berkedok TKW, korupsi terang-terangan, praktek penggusuran, menjual tanah yang bukan miliknya, memperkosa anak sendiri atau pacar sendiri dan banyak contoh lain yang tidak perlu disebutkan di sini.

Di Indonesia memang agak sedikit aneh, kalau ada pencuri kelas kakap yang mau dihukum, nanti yang dibicarakan soal HAM HIM HUM. Semua bicara hak Azasi. Tapi coba kalau Hak Allah yang dilanggar semua pada diam. Ulamanya diam, tokoh agamanya diam. Padahal di Indonesia penduduknya masih mayoritas Islam meskipun sudah banyak yang dimurtadkan, dan sebagian lagi tidak perlu dimurtadkan karena sudah berkawan sama musuh Islam dan setan-setan berwujud manusia. Sementara, menetapkan hukum adalah Hak Allah. Apabila hak Tuhan dapat dikalahkan sebab kepentingan lain, seperti karena uang, karena menjilat dan sebagainya. Tentulah, uang atau pejabat yang dijilat lebih dari tuhan. Syirik hukumnya. Maka tak ada lagi istilah beradab bagi kumpulam manusia seperti ini.

Bagi umat Islam yang masih mau sadar akan kebiadaban jahiliyah seperti ini, hanya ada satu cara untuk merubah kebiadaban seperti itu, yakni. Keluar atau melepaskan diri atawa tidak lagi mau terlibat dalam sistem peradaban tersebut. Sebab pada dasarnya, peradaban tersebut tidak akan dapat dirobah, karena telah dipegang oleh manusia-manusia yang matanya buta, kupingnya budeg, hatinya terkunci mati. Firman Allah QS. 2: 6-7: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, sama saja bagi mereka diingatkan atau tidak diingatkan mereka tidak akan mau beriman. Allah telah mengunci mati hati mereka, dan pendengaran mereka, pandangan mereka juga ditutup, dan bagi mereka siksa yang hebat”.

Oleh karenanya, tidak ada pilihan lain selain dari membangun peradaban baru di atas landasan yang suci, Dien Allah. Sementara budaya gila, super jahiliyah dan budaya menukang-nukangi hukum tak perlu menghabiskan energi mengurusnya dan tak perlu juga dibantu untuk dihancurkan sesuai bidang masing-masing, karena sistem peradaban seperti ini akan hancur dengan sendirinya, secara dramatis dan tragis. Lebih baik bertaubat (kembali) kepada Allah dengan mengikuti ajarannya, Dien Islam. Sebuah dasar menegakkan peradaban baru yang berkeadilan. Tak perlu khawatir, walau pun kita berada di tengah kebiadaban, peradaban baru tetap akan segera bangkit. Karena kedua hal ini tidak akan dapat bercampur karena yang satu hak yang satu batil, juga mungkin bertemu seperti terpisahnya air laut yang asin dan yang tawar. Wallahu A’lam.

No comments:

Post a Comment