Thursday 21 May 2009

Pendidikan dan Pengajaran Sebagai Misi Rasul Allah

Oleh : Jufri Bulian Ababil (ABAH)

Kondisi Dunia Pendidikan

Bukan bermaksud hendak mengasini air laut atau hendak mengajari tupai melompat, tetapi masyarakat umum pun tahu atau barangkali merasakan langsung situasi dan kondisi dunia pendidikan negara kita akhir-akhir ini. Tampaknya sudah semakin kacau balau dan seakan-tidak akan membuahkan hasil seperti selayaknya tujuan pendidikan itu sendiri, memanusiakan manusia. Celakanya, sebagian dari oarng-orang yang bergelut di dunia pendidikan ini pun jangankan untuk peduli terhadap nasib dunia pendidikan, malah sedikit yang justeru ikut menggerogoti sistem pendidikan hanya demi kepentingan kelompok, golongan, pribdai dan sebagainya.

Belum lagi habis gaung kontrovesi mengenai RUU Sisdiknas kemarin, belum lagi terbongkar sindikat-sindikat pemalsuan ijazah gelar dan sebagainya. Dunia pendiidkan akhir-akihir ini di nodai lagi dengan adanya indikasi masuk perguruan tinggi negeri dengan jalur alternatif dengan merogoh kocek sekian puluh atau sekian juata Rupiah.

Memang kontras kelihatannya bila dibandingkan dengan negara tetangga Malaisya apalagi Jepang dan negara-negara maju lain di dunia.

Kenapa anak-anak mereka bisa membuat radio setamat SD atau membuat jam tangan setamat SMP. Pusing bila memikir jawabannya. Jelasnya, semua ini karena umat Islam meninggalkan kurikulum pendidikan Allah dan Rasulnya, yang tidak lagi membutuhkan penyempurnaan, karena toh memang sudah sempurna.

Sistem Pendidikan Islam

Pendidiakan dan pengajaran dalam Islam telah diaplikasikan para rasul Allah sebagai misi yang bertujuan Islam itu sendiri, menyempurnakan akhlak, terwujudnya kesejahteraan dunia dan akhirat serta menjadi rahmat universal. Metode yang diabngun Rasul Allah. Termasuk nabi Muhammad SAW tetap mengetengahkan tiga tahapan strategis. Firman Allah :
“Dialah Allah yang telah mengutus kepada bangsa yang buta huruf (buta konsep), seorang Rasul dari bangsanya sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya (konsepsi). Mensucikan mereka ( bina lapangan keterampilan) dan mengajarkan mereka tentang kitab ( dokumentasi ) dan Hikmah (kebijakan), padahal mereka sebelumnya adalah dalam kesesatan (kebingungan) yang nyata (tampak dalam realitas). (QS. al-Jum’ah 62 : 2 ).

1. Tilawah
Tilawah adalah lapangan pendidikan yang diajarkan al-Qur’an dalam rangka mengasah kemampuan teoritis dengan cara penyuluhan dan berdiskusi yang dimulai dari apa yang diketahui orang lain, sehingga pembicaraan nyambung. Secara bahasa tilawah berarti “membacakan”, dapat juga diartikan mendampingi”. Berbeda dengan kata “Qira’ah” yang lebih umum dan dapat dilakukan sendiri, tilawah harus melibatkan orang lain dan membutuhkan seseorang yang dianggap berkompeten melakukannya. Dalam proses ini, seorang rasul selaku pendidik membangun semangat kritis kepada umatnya dalam melihat persoalan, pertanyaan, kesenjangan ide realita, dikemukakan, para rasul menunjukkan standar baku, rumusan-rumusan, pola dan paradigma yang digunakan dengan menunjukan dalil-dalil al-Qur’an. Mengenai penjelasan ayat-ayat yang belum dimengerti, mereka, para rasul itu memberikan “bayyinat” ayat al-Qur’an baik dari ayat lain maupun dari sabda-sabda beliau. Denagn demikian mereka tetap mendampingi umatnya. Bukan habis didakwah, terima amplop lantas ditinggalkan, tak peduli mereka faham atau tidak, dakwah yang disampaikan menimbulkan masalah atau tidak.

2. Tazkiyah
Tazkiyah artinya “mensyucikan jiwa”, maksudnya mensucikan seluruh yang melekat pada jiwa yang meliputi kesadaran, emosi, ego dan pola fikir. Berbeda dengan kata “thaharah” yang berarti suci fisik-maerial dan kata “fitrah” yang berarti suci dari rekayasa makhluk serta kata subhan yang juga berarti suci dalanm pengertian sucinya Allah dari sifat kekeurangan sebagaimana yang dimiliki makhluk. Kesemua pengertian tersebut jelas memiliki makna, maksud dan tujuan berbeda serta aspek yang berbeda pula. Para rasul selaku pendidik, setelah membangun kemampuan teoritis yang didukung dengan rumus-rumus dan sebagianya yang wajib dihafal, proses pendidikan dilanjutkan dengan praktek kelapangan sehingga teori yang sudah diajarkan tidak lupa. Jelasnya, satu pokok pembahasan sekali praktek, sehingga ilmu dapat diterjemahkan secara langsung menjadi amal yang justeu akan menambah ilmu yang baru, baik pengalaman, keterampilan dan penguasaan objek persoalan. Dalam hal ini para rasul masih selaku pendidik bertindak sebagai pemandu umatnya, menjadikan mereka terampil dan kreatif sambil tetap memantau keadaan emosi, ego, intelektualitas dan hal-hal lain dalam kaitan psikologi. Dan pada ujung proses ini, para rasul meminta pertanggung jawaban, mengevaluasi praktek, tugas,penanganan masalah yang mereka hadapi, apakah masih sesuai dengan garis-garis al-Qur’an atau telah tersimpangkan.

3. Ta’lim
Artinya mengajarkan berasal dari kata ‘allama yang berbentuk bina taktsir yang menunjukkan pngertian proses pengerjaan/aktivitas yang dilakukan terus-menerus/kontiniu, berirama dan berulang-ulang. Maksudnya, proses pendidikan dalam Islam pada tahapan ini dilakukan secara teratur, rutin dan melakukan pengulangan kembali (refleksi) dari apa yang pernah dibacakan atau dipraktekkan. Selanjutnya, dalam rangka menindaklanjuti sebuah output awal dari sebuah hasil pendidikan, para rasul selaku pendidik, melakukan pendalaman terrhadap ayat-ayat yang sudah pernah diajarkan. Dengan proses pembelajaran kembali ini diharapkan, umat dapat melakukan rekonsepsi. Sedangkan penguasaan materi dan penataan keahlian juga mewarnai proses ini, terutama menyangkut penemuan baru dan pengembangan, baik ditingkat wawasan keilmuan maupun ditingkat pengambilan kebijakn/keputusan dengan inisiatif-inisiatigf yang terpola adan dipahami bersama.

Sedikit Menghibur Diri

Bila mana dilakukan evaluasi terhadap output dari semua institusi pendidikan dinegara kita, bolehlah kita menyaksikan para profesor yangmenganggur akhirnya memilih mengaplikasikan ilmunya di negara lain. Begitu juga dengan sarjana dan tamatan SMA lainnya. Namun kendati demikian kita perlu merasa bangga dan menarik napas legah melihat tumbuh suburnya, taman pembacaan al-Qur’an, Taman kanak-kanak, Madrasyah Diniya Awaliyah, Play group for Islamic Children dan setingkat dengan itu dengan sistem belajar dan metode Iqra’ dan kitabah yang diajarkan para ummi dan buya muda. Kenapa? Tanpa ingin membandingkan dengan tamatan aliyah dan sederajat. Jelas kualitas mereka tidak jauh lebih baik dari kakak-kakak mereka. Apakah itu ditinjau dari praktek ibadah maupun kualitas daya ingat dan daya tangkap . bayangkan saja anak sekecil itu rata-rata 4-9 tahun sudah hafal satu juz amma ( juz 30 ), al-Qur’an, hafal banyak doa dalam segala aktivitas sehari-hari. Generasi ini insya Allah nantinya diharapkan dapat menggantikan beberapa generasi diatasnya yang dikhawatirkan banyak pengamat sebagai “the lost generation”( generasi yang hilang ), karena terlepas darimereka yang m,ampu bertahan sebagian besar sudah terlibat narkoba, seks bebas dan berbagai bentuk kekerasan, tidak bisa baca doa, tidak hafal juz amma seperti adik-adik mereka yang masih TK dan kecil kemungkinan untuk diharapkan lagi memperjuangkan agama dan negara ini.

No comments:

Post a Comment